Ardi

751 119 7
                                    

Aku mengetuk pintu dengan napas putus-putus. Aku baru tahu ada tempat kos yang berlantai lima, dan naasnya kamar teman Ardi tepat di lantai teratas. Mau tidak mau akhirnya aku menaiki berpuluh-puluh anak tangga demi menjemput Ardi.

Pintu kamarnya langsung terbuka pada ketukan pertama. “Masuk.” Seorang laki-laki dengan rambut merah membuka pintu dan membiarkanku masuk. Karena sudah mendapat izin, aku mengikuti langkahnya di belakang. Baru masuk ruangan, tahu-tahu bau menyengat menusuk indra penciumanku. Spontan aku menutup hidung dan bernapas dengan mulut. Bau bir?

Sorry, habis minum.” Dia menunjuk meja kecil di sebelah kananku. Beberapa kaleng bir Bintang berserakan di meja dan sebagian jatuh di lantai bawahnya. Aku mulai menghitung cepat, total ada sembilan bir kosong. Jadi pertanyaanku, apakah Ardi ikut minum juga?

“Santai aja,” kataku, sedikit tertawa geli. Aku sering melihat temanku minum. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya. Meski begitu tidak pernah sekalipun aku mencoba minuman memabukkan itu dengan mulutku sendiri. Tidak ada alasan khusus. Hanya tidak ingin saja. “Mana Ardi?” Setelah sibuk mengamati ruangan yang asing, akhirnya aku mengingat alasan mengapa tengah malam aku repot-repot datang ke sini.

“Di kamar mandi.” Jawabnya, menunjukkan pintu berwarna biru di ujung ruangan.

Aku mengangguk, kemudian berjalan ke kamar mandi. Awalnya, aku sama sekali tidak berpikir macam-macam mendengar kata ‘kamar mandi’. Mungkin saja Ardi sedang kencing atau apalah di kamar mandi. Namun, napasku seketika tercekat begitu melongok ke dalamnya. Apa-apaan dengan tubuh bugil Ardi di lantai kamar mandi?

Aku buru-buru menghampirinya. “Ngapain lu?” Suaraku lebih tajam daripada yang kumaksudkan. Aku menepuk pipinya, mencoba membangunkan Ardi yang masih terpejam. Napasnya bau alkohol. Masam.

Dia mengerang pelan. Matanya setengah terbuka, kelihatan tidak fokus. Aku kembali menepuk pipinya, “ini gue! Lu ngapain tidur di sini goblok!” Aku menyingkap poni yang menutupi mata kanannya. Dengan lengan jaketku, aku mengusap keringat yang bergulir di dahi dan lehernya.

Dia menyentuh tanganku yang sedang mengusap dahinya. “Gue gak apa-apa.” Ucapnya, perlahan. Dasar, bagian mana yang terlihat baik-baik saja? Dia jelas-jelas sangat menyedihkan. Ucapan orang mabuk memang tidak bisa dipercaya.

“Bangun lu. Sialan ini. Gue yang beli bir, dia yang ngabisin. Untung temen gue lu ya.” Sosok di depan pintu berdiri berkacak pinggang. Ardi terkekeh dalam ketidaksadarannya. Diam-diam aku tersenyum getir. Sudah minum bir orang lain, mabuk, pakai telanjang lagi di kamar mandinya.

“Kenapa dia sampai telanjang?” Tanyaku, penasaran. Cukup lama aku menahannya, tapi rasa penasaranku tidak juga hilang.

“Biasa,” dia menghendikkan bahu, “habis ngewe gue.”

Demi mendengar jawaban tanpa beban itu keluar dari mulut teman Ardi, tubuhku serasa dihempaskan ke jurang yang paling dalam. Ada keterkejutan berbungkus perasaan dikhianati yang tiba-tiba bercongkel di hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali?

“Oh, ok.” Aku menjawab ala kadarnya. Dia menyerahkan kemeja dan celana Ardi ke tanganku. Aku menyambarnya dan membantu Ardi untuk memakainya. Aku melakukannya dengan cepat karena tidak ingin lama-lama di ruangan ini. Aku ingin cepat sampai rumah dan menyulut Dji Sam Soe-ku. “Nih, dalamannya kotor.” Ditengah kesakitanku, dia masih sempat-sempatnya menaburkan garam di atas lukaku. Aku berusaha sebisa mungkin menulikan telingaku, mengabaikan eksistensinya. Aku tahu Ardi memang lebih dekat dengannya dibandingkan denganku, jadi tidak perlu pamer begitu. Asu. 

Setelah Ardi berpakaian lengkap, aku mengalungkan satu lengannya di bahuku. “Gue balik.” Setengah tersaruk-saruk, aku menuruni berpuluh-puluh tangga (lagi) dan membawanya pulang ke rumahku. Sepeda motorku atau Ardi sama-sama kutitipkan di kos temannya. Aku sengaja menyewa becak yang kebetulan baru kembali dari pasar setelah mengangkut sayur untuk mengantar kami. Selama perjalanan, sesekali aku melirik Ardi yang tidur dengan wajah tidak berdosa di bahuku. Untuk beberapa alasan, aku ingin menendangnya ke jalanan. Bangsat sialan. Dia bilang menyukaiku, tapi apa sekarang? Berani-beraninya dia menipuku dan tidur dengan orang lain.

###

Dia bangun dengan memegang kepala keesokan harinya. “Udah gak kuat hidup?” Kataku, menyembunyikan nada ketus yang ingin sekali kusemburkan padanya. Karena Ardi, aku terpaksa tidur di sofa.

“Kenapa gue di sini?” Gumamnya dengan nada mengantuk. Aku duduk di pinggir tempat tidur, enggan meliriknya. Jujur saja, aku masih kesal dengannya.

“Masih nanya?” Sayangnya, nada ketus dalam suaraku akhirnya muncul juga. Lebih ketus daripada yang kumaksud.

“Gak usah dongkol juga kali pagi-pagi,” keluhnya. “Kepala gue pusing nih.” Dia memijat pelipisnya dengan ibu jari.

“Gimana ngewe lo semalam? Enak?” Kataku, mulai menatapnya penuh kebencian. Aku kecewa. Penghianatan adalah hal terakhir yang ingin kudapatkan dari hubungan kami.

“Enak.” Jawab Ardi, sekenanya. Dia menyingkirkan tangan dari kepalanya dan balas menatapku. Lain dari biasanya, tidak ada raut kesabaran disertai senyuman di wajahnya. Untuk pertama kalinya, dia menatapku dengan…marah?

“Bajingan lo,” umpatku. Jika saja dia minta maaf atas segala perbuatannya kemarin, mungkin saja kekecewaan dan kesalku akan hilang. Tapi nyatanya, dia bahkan tidak merasa bersalah sama sekali. Dia tidak lebih dari bajingan busuk, sial. Kenapa bilang suka kalau akhirnya hanya omong kosong? Membuat orang lain berharap saja.

“Bacot. Terus gue harus nungguin sampai lo mau ngewe sama gue gitu? Haha. Lucu lo.” Dia tertawa mengejek, kentara sekali sedang mencoba meremehkanku.

Mendengarkan ucapannya, aku mulai meledak. “Gigolo bangsat!” Teriakku diluar kendali. Aku langsung menyesalinya begitu melihat ekspresi mendung Ardi semakin pekat.

“Hei,” dia mulai bangkit dari posisi terlentangnya. Kurang dari sedetik, ayunan tangannya menampar pipiku. Aliran rasa panas langsung menyerbu daerah sekitar pipi sampai mulutku, menyulut api kemarahan yang lebih besar. Tanganku akan balas menamparnya ketika tamparan yang lain menyentuh pipiku lagi. “Tikus sialan! Lo pikir enak setiap hari nungguin lo?! Gue selalu cemas lo bakalan buang gue setelah kematian Ana. Gue udah nyatain perasaan gue, dan lo, apa yang lo lakuin? Lo mempermainkan titik kelemahan gue. Buka mata lo! Lo lebih bajingan daripada gue!” Ardi mengatakannya dengan geram.

Sayangnya, api kemarahan telah sepenuhnya menguasaiku. Mengaburkan seluruh jatah akal sehatku. Aku sampai lupa, ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilakukan dalam hubungan yang hampir di ujung tanduk ini. Namun, sepertinya aku benar-benar melewati batas terlarang itu. “Dasar pembunuh!” Teriakku marah.

Ardi awalnya tampak terkejut, tapi kemudian wajahnya menampakkan ekspresi terluka. Aku seperti sedang merobek dan menelanjangi hatinya. Hati seseorang yang menyelamatkan dan setia menungguku dalam kurun waktu yang tidak terbatas.
Saat aku sibuk dengan pikiranku, pigura berisi fotoku dan Ana di nakas tahu-tahu sudah melayang ke dinding. Suara hantaman dua benda padat yang disusul dengan pecahan kaca di atas lantai memenuhi kamarku. Setelah itu, tidak ada suara apapun di antara kami. Ardi tiba-tiba berdiri. Meskipun langkahnya sempoyongan, dia sama sekali tidak meminta bantuanku. Dia berjalan dengan meraba dinding menuju pintu. Aku memperhatikan kepergiannya dengan rasa bersalah yang menusuk hati nuraniku.

Begitu sampai di ambang pintu, Ardi mengatakan ini, “gue minta maaf untuk segala sesuatu yang terjadi pada Ana. Satu hal yang selalu gue sesali adalah kenapa bukan gue yang mati hari itu. Sumpah. Sangat menyesakkan hidup dalam rasa bersalah, setiap malam dikejar bayangan wajah putus asa Ana. Gue juga minta maaf karena memaksakan perasaan gue ke lo atau apalah. Mulai sekarang, mari kita hidup sendiri-sendiri. Gue pergi.”

Setelah Ardi benar-benar hilang dari pandanganku, aku merasa kosong.

Ternyata, aku sama sekali tidak mengenalnya.

###

Maafkan daku untuk segala kekurangan, typo, dll :v

Jangan lupa vote dan comment XD

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang