Ardi serius dengan ucapannya. Terhitung sudah tiga bulan dia berhenti mengunjungiku. Selama tiga bulan itu pula aku putus kontak dengannya. Kami tidak ubahnya seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal, canggung.
Absennya Ardi membuatku merenungi banyak hal. Kalau dipikir-pikir, aku memang keterlaluan. Dia sering berkeliaran di sampingku, tapi aku belum pernah benar-benar menghargai eksistensinya. Aku, ya aku, terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Kupikir kehadirannya memang sudah seharusnya seperti itu. Lumrah. Bukan hal yang istimewa.
Tapi begitu dia pergi, hal-hal yang kelihatannya lumrah dan tidak istimewa itu membuatku kesepian. Jenis kesepian yang menyiksa, membuatku seperti cangkang kosong yang kehilangan jiwanya. Berkali-kali aku ingin menghubungi Ardi dan minta maaf, namun berkali-kali itu pula aku mundur teratur karena ketakutan. Aku takut dia tidak akan memaafkanku, semakin membenciku, dan akhirnya benar-benar musnah dari hidupku. Aku tidak ingin itu terjadi. Jadi, kubiarkan kerenggangan diantara kami terus berlangsung.
Seandainya mungkin, aku berharap waktu cukup berbaik hati membuat dia kembali. Aku berjanji akan memperlakukannya dengan layak ketika kesempatan itu datang.
###
Kejadian yang sama terulang untuk kedua kalinya. Ardi mabuk di rumah temannya yang dulu. Temannya menghubungiku. Bedanya, dia tidak telanjang ketika aku menjemputnya. Kami pulang naik becak, kemudian aku membawanya tidur ke rumahku. Apa ini kesempatan yang begitu kuinginkan?
Mungkin.
Ardi langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Napasku putus-putus karena kelelahan membawa tubuhnya yang lebih kekar dibandingkan tubuhku dari rumah temannya ke sini. Setelah napasku mulai teratur, diam-diam aku memandangnya. Wajahnya lebih suram daripada biasanya, pipinya sedikit tirus, kumisnya agak panjang, dan rambutnya mulai gondrong. Apa yang dia lakukan saat tidak bersamaku? Apa dia makan dengan benar? Apa dia mandi setiap hari? Apa dia tidak pergi ke tukang cukur? Pertanyaan-pertanyaan sepele mulai memenuhi benakku. Apa? Apa aku mulai menyukainya?
“Bro, copot baju lu dulu.” Aku menepuk pipinya perlahan, merasakan permukaan kulitnya yang kasar.
“Mmmh…” Dia menggeram, tapi kemudian tidur lagi. Dasar pemalas.
Aku menjatuhkan kepalaku ke dadanya, mendengarkan detak jantungnya yang teratur. Dadanya naik turun dengan tenang. Perasaan nyaman perlahan membuaiku, membawa jiwaku ke dalam pusaran ketidaksadaran bernama mimpi. Aku terlelap dengan lega, seolah bebanku akhir-akhir ini terangkat hanya dengan kehadiran Ardi di rumah. Dasar, Ardi.
###
Aku terbangun ketika Ardi memindahkan kepalaku ke atas bantal. “Sorry,” katanya, tersenyum tipis. Dia menggeser tubuhku ke posisi yang nyaman. Leherku sedikit sakit karena posisi tidur sebelumnya yang tidak sempurna. Aku mengangguk samar, masih setengah sadar.
“Gue pulang. Maaf udah ngerepotin lu.” Dia buru-buru berdiri dan merapikan bajunya. Huh, sampai kapan hubungan kami formal begini? Kenapa hatinya tidak juga melunak? Dasar kepala batu.
“Di sini aja, sarapan sama gue.” Pintaku, sembari berusaha membuka lebar mataku. Kesadaranku telah sepenuhnya kembali. Sayangnya, dia tidak mengacuhkan ucapanku. Dia justru berjalan ke arah pintu. Aku tidak suka situasi ini. “Gue minta maaf, ok?” Kataku, parau. Dia sama sekali tidak menghentikan langkahnya. “Jangan kayak gini.” Aku beranjak bangun dan mengejarnya. Begitu jarak kami cukup dekat, aku menarik lengannya. “Maafin gue, ok gue ngaku, gue salah. Berhenti bersikap seolah lu gak mengenal gue. Gue gak suka.” Ucapku, sungguh-sungguh.
Dia berhenti, balik badan, kemudian menurunkan tanganku yang menarik lengannya. "Jangan menemui gue sebelum perasaan lu berubah, Man. Gue udah capek jadi pengganti. Lu harus mulai lihat gue sebagai Ardi, cowok yang suka lu. Bukan Ardi, sahabat lu yang sering menghibur lu setelah kepergian Ana.” Katanya, setenang danau. Dia mengucapkannya sembari menatap mataku serius. Jika saja dia mengucapkannya dengan senyuman, mungkin aku tidak akan tahu kalau itu adalah kalimat ancaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara
Random[Boyslove] Salman, Ana, dan Ardi. Saat kejadian tidak terduga menyingkap sebuah rasa, cinta segitiga yang tidak diharapkan. Siapa di antara mereka yang berhak mendapatkan kebahagiaan?