Kemudian, perlahan tapi pasti aku mulai membuka diri. Aku tidak segan keluar rumah, pergi ke pasar atau sekedar cari makan. Satu kebiasaan yang hilang setelah kematian Ana. Bahkan satu minggu pertama setelah kematiannya, aku tidak berinisiatif untuk makan kalau saja Ardi tidak membawakan makanan setiap malam dan memaksaku makan.
Ah, ya. Mengenai pernyataannya tempo hari, sebenarnya aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah menduganya sejak dulu kalau ada yang aneh dengan Ardi.
Keanehan itu kurasakan saat kami menginjak kelas tiga SMA. Ada yang berbeda dengan caranya memandangku. Kami sudah bersahabat sejak sekolah menengah pertama, dan aku tidak pernah mendapati pandangannya yang seperti itu sebelumnya. Matanya menatap lurus tepat di bola mataku, seringkali juga aku memergokinya melirikku dengan pandangan sedikit kurang ajar. Untuk remaja sepertiku yang seringkali gonta-ganti pacar, tidak sulit membedakan mana pandangan mata biasa atau pandangan mata yang menyimpan maksud tersembunyi di dalamnya.
Tapi sebagai sahabat yang sudah mengenalnya lama, aku membiarkannya begitu saja. Aku tidak akan menggubrisnya selama perlakuannya tidak melewati batas dan tidak melukaiku. Aku juga enggan mengungkitnya. Mengingat, semua itu hanya dugaanku saja.
Sayangnya, satu peristiwa tidak terduga membuktikan dugaanku. Suatu hari, saat liburan kelulusan, Ana dan Ardi bermain di rumahku. Kami menonton film maraton. Ana meminjam beberapa CD film horor dari teman sekelasnya. Dia duduk diantara aku dan Ardi. Tepat di pertengahan film itu, aku yang lelah akhirnya tidur manja di paha Ana. Ana membelai rambutku pelan, membuatku diam-diam tersenyum dalam diam. Aku beralih menatapnya ketika sudut mataku menangkap pandangan Ardi padaku. Aku urung menatap Ana, aku justru membalas tatapan Ardi. Dia kelihatan sedikit terkejut dengan tatapanku, tapi tidak juga mengalihkan pandangannya. Kami saling menatap lebih dari batas normal. Kebetulan Ana tidak memperhatikan perbuatan kami karena dia sedang asyik menonton film.
Apa yang ingin dia katakan? Batinku kala itu.
Besok dan seterusnya, aku tidak pernah mengungkit-ungkit hal itu lagi. Menurutku, Ardi punya hak untuk menyukai siapapun. Termasuk aku. Dan seperti prinsipku di awal, selama dia tidak menggangguku, aku tidak akan menanggapinya. Lagi pula, aku sudah punya Ana waktu itu. Jadi untuk apa aku memedulikan perasaan Ardi?
Tapi sekarang, semuanya telah berbeda. Ana tidak ada, sedangkan Ardi masih bisa kulihat setiap hari. Aku tidak munafik. Aku sendirian dan kesepian, dia datang menawarkan segalanya. Apa lagi yang bisa kulakukan selain membuka hatiku kembali? Meskipun kenyataannya tidak semudah itu, namun aku tahu pada intinya kami akan seperti itu.
“Udah makan?” Ucap Ardi, berdiri di ambang pintu kamarku. Seperti biasa, dia mampir setelah pulang kerja. Aku sedang duduk di tepi tempat tidur mengamati fotoku dan Ana saat dia datang. Gerbang dan pintu depan sengaja tidak aku kunci supaya Ardi lebih leluasa masuk tanpa mengusikku.
Aku mengalihkan pandanganku ke sumber suara. Mata kami bertemu. “Belum.” Jawabku, tanpa beranjak ke arahnya. Dia masuk membawa kantong plastik putih berlogo “Bubur Ayam Kani”. Rupanya hari ini dia membawakan bubur ayam langgananku. Dia meletakkannya di atas nakas, kemudian duduk di sampingku.
“Kangen?” Dia melirik foto di genggamanku. “Ya,” jawabku terus terang. Meskipun aku sudah sedikit membuka diri dan mencoba move on, sesekali senyuman manis Ana masih mampir di benakku. Menguji semua usaha yang susah payah kulakukan.
Aku bisa mendengar Ardi menghembuskan napas berat. Dia menyentuh bingkai foto, membelai potret Ana yang sedang menciumku, lalu menggenggam punggung tanganku erat. Aku menunggu kalimat protesnya. Namun, tidak seperti biasanya, dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam dan terus menggenggam punggung tanganku. Kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing sembari menikmati kehadiran satu sama lain. Sentuhannya sedikit menenangkanku. Salah. Maksudku, sangat menenangkanku. Kenapa aku baru menyadari betapa besar perhatiannya sekarang?
###
Kupikir, kami sudah begitu dekat. Kami berteman cukup lama. Kami mengetahui kebiasaan masing-masing. Sampai suatu hari panggilan telepon di tengah malam menyadarkanku bahwa aku sama sekali belum mengenal Ardi.
“Bro, jemput Ardi di rumah gue.” Suara asing di seberang menyebutkan alamat dekat tempat kerja Ardi. Aku yang sebelumnya menjawab setengah sadar, akhirnya benar-benar bangun. Kuamati nomer panggilan di ponselku kembali. Mau bagaimanapun asingnya suara di seberang, kenyataan dia menelponku dengan ponsel Ardi sedikit membuatku khawatir. Apa yang sebenarnya dilakukan Ardi? Kenapa aku harus menjemputnya?
Saat aku akan meminta penjelasan mengapa aku harus menjemputnya, panggilan di telepon tiba-tiba ditutup secara sepihak. Aku meloncat bangun, susah payah mencari jaketku di tumpukan cucian kotor. Setelah memakai jaket dan jeans panjang, aku mengambil kunci motor. Ditengah hawa dingin dan langit yang setengah mendung, aku melajukan motorku cepat menerobos jalanan gelap. Tidak kupedulikan wajahku yang mulai dingin atau tanganku yang mati rasa. Aku ingin segera sampai dan menemui Ardi.
###
Ayo semangat menbacanya :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara
Random[Boyslove] Salman, Ana, dan Ardi. Saat kejadian tidak terduga menyingkap sebuah rasa, cinta segitiga yang tidak diharapkan. Siapa di antara mereka yang berhak mendapatkan kebahagiaan?