📕 - 16

241 25 1
                                    

15 Agustus, menunggu giliran konseling

Aku menulis ini disela-sela antrian untuk konseling dengan bu Yoona.

Sejujurnya aku cukup merasa baik saat ini karena emosiku sudah bisa ku kendalikan. Yaah, meski lukanya masih basah.

Tapi...

*****

Shinyeong tersenyum tipis saat menarik kursi yang ada di hadapan Yoona.

"Masih tidak ingin cerita?" tanya Yoona

"Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan, bu."

Yoona menghela nafas dan mulai membaca berkas sikap Shinyeong.

"Ibu tau kau berbeda, Yeong."

"Tentu, setiap anak kan memang berbeda, bu."

"Bukan itu. Tapi, pikiranmu itu penuh dengan memori luka. Kau tidak ingin membaginya denganku?"

"Aku masih bisa mengatasinya sendiri, bu. Selama aku tidak jauh dari-Nya, maka aku akan baik-baik saja."

"Meski itu mempengaruhi kehidupanmu saat kau dewasa nanti?"

Shinyeong diam sejenak. Berfikir tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi akibat luka hati yang didapatkannya dulu. Bagaimana kehidupan sosialnya? Bagaimana sikapnya dengan perempuan? Bagaimana... Bagaimana...

"Yeong?"

Shinyeong menghela nafasnya. "Bu, bu Yoona percaya kalau aku kuat?"

Yoona mengangguk tegas.

"Kalau begitu, tetap lah percaya padaku jika aku bisa menahan semuanya. Mungkin ada saatnya aku hancur dan mengingat semua luka itu, tapi aku yakin itu hanya sesaat."

*****

Ya, aku sangat tau. Aku tidak mungkin bisa menyembuhkan semua luka itu. Luka yang mereka berikan padaku akan terus ku ingat sampai aku dewasa bahkan tua nanti.

Tapi, setidaknya aku mencoba untuk menerima dan menyimpannya dengan baik. Karena pasti aku akan menemukan orang yang lebih menyakitiku dari yang ku dapatkan saat ini.

Yeong, yang tersenyum menatap kupu-kupu o(〃^▽^〃)o

Someday ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang