Part 6

27 4 0
                                    

"Yur-Sayuuuur..."

Kring, kring... setiap pagi, suara itu sangat familiar di lingkungan tempat tinggalku. Baru saja suara gerobak pedagang sayur keliling ketoprak itu lewat di balik pagar halaman belakang rumahku yang tidak seberapa luasnya.

Aku memantul-mantulkan bola basket ke permukaan batako dengan tenang pagi itu, masih belum sarapan pagi karena nasi di rice cooker belum matang. Aku berniat melatih shooting ke dalam keranjang basket yang terpasang di bagian dinging belakang rumahku itu sebelum matahari naik lebih tinggi dan udaranya memanas.

Ya, sip! tiga poin! Aku harus bermain pelan dan hati-hati karena walaupun pagar halaman belakang rumahku setinggi dahi orang dewasa, halaman ini sempit dan kalau bolaku nyasar ke halaman tetangga sebelah akan sangat merepotkan memintanya kembali.

Minggu pagi itu harusnya menjadi hari minggu biasanya jika tidak ada tamu tak diundang mengetuk pintu depan dari teras rumahku—aku masih bisa mendengarnya di belakang sini. Siapa sih? Aku masih memakai kaos longgar dan celana kanvas pendek pagi itu (Belum mandi sih), tapi aku tidak ingin ibuku terganggu, jadi aku tetap bergegas memakai sendal jepit dan masuk ke dalam rumah lewat jalan dapur untuk membuka pintu depan.

Ketika daun pintu itu kuputar dan pintu terbuka lebar, aku terdiam sebentar mendapati sosok yang ada di depanku, bocah lelaki yang berada di depanku itu juga melakukan hal yang sama. Bocah yang terlihat grogi berdiri di depanku sekarang adalah salah satu personil After dari acara tv luar negeri yang terkenal itu. Sulit dipercaya dia bisa ada di depan rumahku mendadak pagi ini, tapi bukan itu alasan aku sedikit terkejut.

Kulipat kedua tangan di depan dada. "Wah, wah. Gue kedatangan tamu artis nih. Pasti mimpi kan gue?"

"Ma, maaf dadakan May." Bocah bertubuh pendek itu terlihat memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket tak berisleting yang dikenakannya lalu tubuhnya bergerak berayun agak maju mundur gelisah. "Aku sudah kirim E-Mail kan sebenarnya."

"Sorry Monti, belum sempat baca," jawabku dingin.

Monti adalah ex-Focus Blitz, dia pernah menjadi salah satu anggota Phantografer kami dengan nomor id FB03. Anak ini lebih muda dari Andi maupun diriku, tapi dia lebih pintar dari kami berdua yang sudah kuliah. Monti adalah pengkhianat.

"Anu... apa kabar May?" Tanya Monti.

"Hmm, baik saja," jawabku.

"Aku mengerti kau dan Andi masih marah," kata Monti memulai, "kau sepertinya tidak mau berbasa-basi ya?"

"Jadi, kenapa kau jauh-jauh pulang dari California kembali ke sini? Pastinya bukan karena kangen denganku saja kan?"

"Baiklah... begini, aku masih ingin meminta bantuan kalian soal itu. Kalian tidak pernah membalas ataupun merespon kalau kuhubungi jadi aku berniat—"

"—tidak, tidak. Kami sudah menolaknya berkali-kali," jawabku segera.

Sebenarnya Monti sudah sering meminta ini, berkali-kali mencoba menghubungi kami dan menjelaskan kenapa dia membutuhkan bantuan kami. Tapi kupikir dia hanya mencoba untuk berbaikan dengan kami, dia sanggup membayar bantuan professional kepada siapapun kalau dia mau sekarang.

"Dengar, ini yang ingin aku katakan, aku akan membayar kalian—"

"—tidak bisa Monti," aku menyelanya lagi, "Andi sudah jelas tidak akan mau bertindak sebagai cenayang untuk membantu masalahmu. Kami tidak bisa melakukan apa-apa. Jadi maaf sekali."

Alis anak itu berkerut sebentar dan dia memandang ke bawah, lalu mulai bicara lagi, "Saat syuting terakhir di acara itu..."

"Kami nonton kok di tv," sahutku sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

FOCUS BLITZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang