Part 20

14 4 0
                                    

Waktu sepertinya berhenti berputar... kurentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan sembari menapakkan alas sepatuku di atas pinggiran rel kereta api. Aku tak khawatir karena tak terdengar bunyi mesin kereta di kejauhan, dan sepertinya dunia dalam kekosongan sama sekali. Di sini seperti malam, tak ada apapun selain cahaya putih bulat di ujung pandang tepat searah rel kereta ini membentang jauh.

Seorang gadis kecil melakukan hal yang sama di sebelahku, terkadang dia berjalan mendahuluiku dan terkadang aku menyusulnya, dan adakalanya kami beriringan. Anak perempuan itu mengenakan pakaian terusan putih polos tanpa gambar, kakinya tidak memakai sandal. Dia berambut hitam panjang lebat dan lurus, sepertiku.

Pijakanku selip, kakiku menginjak tanah berbatu. "Tapak kakiku terlalu besar untuk berpijak di sini, lebih mudah bagimu kan?" Kataku pada gadis itu.

"Sama saja," sahut gadis kecil itu. Kemudian dia berjalan-jalan sambil memunguti batu sesekali.

"Aku gak tahu kita sedang apa di sini," kataku.

"Mayang, kau boleh lakukan apa saja yang kau suka," suara anak itu terdengar bulat, khas suara anak-anak.

"Putri, kau tidak berubah ya? Kau tidak tumbuh dewasa, tidak tumbuh tinggi," rasanya baru pertamakali ini aku menyebut namanya.

Gadis itu buru-buru mendahuluiku, memunguti beberapa batu lagi, tapi kemudian kepalanya berbalik. Mata itu, tatapan itu, rambutnya yang jatuh mengalir di bahu; Aku melihatnya seperti melihat cerminan diriku, sesuatu yang sama.

"Mayang ikuti aku..." kata Putri.

Aku agak bingung, ke mana? Rel ini hanya mengarah lurus ke arah cahaya putih yang sangat jauh entah apa di ujung sana. Tapi aku tetap berniat mengikutinya. Tiap kali aku mempercepat langkah entah kenapa dia selalu mendahului, aku tak bisa mendahuluinya.

"Putri, aku sudah sangat lama tak melihatmu lagi. Kau sekarang tinggal di mana?" Tanyaku sambil terus mengimbangi langkahnya yang semakin cepat.

Gadis itu mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya. "Apa?"

Dia bicara lagi sambil terus berjalan dan membuang batu di tangannya, tapi tetap tak ada suara seakan dia itu bisu.

"Di mana kau? Aku tak bisa mendengarnya... katakan di mana?" Aku mulai merasa jengkel, mulutku berdecak sekali.

Putri mengatakan sesuatu, tapi ketika suaranya kali ini bisa terdengar betapa terkejutnya aku karena sebuah kereta melintas di rel begitu saja, memisahkan kami berdua. Mustahil bagiku untuk bisa melihatnya lagi ataupun berbicara padanya di balik gemuruh mesin kereta. Aku bingung, pikiranku kosong, berasa ada sesuatu yang hilang dariku.

Entah apa yang terjadi kemudian setelahnya tak bisa kuingat. Kelopak mataku membuka perlahan-lahan.

Aku terbangun dari tidurku...

FOCUS BLITZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang