Prolog

47 4 0
                                    

Percayalah, menjadi jelek bukanlah suatu anugerah terindah yang pernah kumiliki. Terlahir dengan wajah pas-pasan. Otak dengan kapasitas standar. Tubuh yang tidak bisa dibilang molek ataupun semok. Seandainya bisa sih, aku ingin memiliki salah satu dari ketiganya. Tapi apa daya. Sepertinya Tuhan memang lupa membagikan salah satunya untukku.

Kulitku memang tidak hitam ataupun putih mulus. Kuning langsat dengan beberapa bagian yang tidak rata. Wajahku bisa dibilang imut. Tunggu dulu. Apa? Imut? Gila. Aku pasti sudah gila mengatai diriku sendiri imut. Omai.... Aku tidak imut, hanya saja memiliki bentuk wajah bulat dan pipi tembam. Wajahku kecil, itulah mengapa dimanapun berada, aku dikira masih kanak-kanak.

Postur tubuhku tidak bisa dibilang tinggi. Karena 155 cm bukanlah suatu kebanggaan bagiku. Oh, aku berhenti mendeskripsikan diriku saja ya. Minder ini sudah tidak bisa bersembunyi lagi.

Pokoknya, intinya tuh, aku jelek, bego dan rata.

Kalau kalian berpikir sudah tidak ada yang bisa menandingi penderitaanku, kalian harus tahu kehidupan sehari-hariku.

Penderitaanku yang pertama adalah Romeo. Oke, Romeo bukanlah nama aslinya. Itu adalah nama julukan yang kuberikan pada laki-laki sialan yang berani-beraninya mencuri cinta pertamaku. Kenapa kunamai Romeo? Karena dia memang sulit diraih. Romeo benar-benar kebalikan diriku.

Ganteng, pintar, supel... dan yang paling penting, dia punya banyak teman. Tidak sepertiku yang suka banget menyendiri dari kecil. Untung saja Indonesia tidak membudidayakan bullying di masa-masa sekolah muridnya.

Oke, mungkin kalian masih tidak menangkap kenapa harus nama Romeo. Kenapa bukan Ken? Shrek? Pangeran? Prince? Atau apalah itu namanya. Karena Romeo adalah Romeo. Dia ibarat langit tak terjamah. Ceile... Ya pokoknya nggak bakalan bisa kumiliki. Seperti Julliet. Bedanya, dia nggak cinta sama aku. Iya, bedanya emang di situ. Dan aku nggak sesempurna tokoh Julliet.

Ini cinta rahasia. Karena aku nyaman bersamanya sebagai teman.

Terdengar seperti omong kosong, kan?

Yap, awalnya kupikir teman tidak mungkin timbul rasa saling suka.

Tapi, di sinilah aku, terjebak dengan friendzone yang mencekik diriku sendiri dan menghimpit tulang-belulangku sampai menjadi remuk redam. Tapi tak apa. Asal bisa selalu di dekatnya, menjadi temanpun tak masalah.

Ya, asal masih bisa melihatnya dari dekat.

LolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang