LOLA - BAGIAN 5

1 0 0
                                    

Jemariku tiada berhenti mengetuk meja dengan konsisten. Keyboard dan monitor di depan muka seolah mengejek, mengucapkan selamat tinggal dengan tertawa. Menghela napas dan mengeluarkan pendek-pendek, aku menempelkan satu pipi di atas meja.

Sebentar lagi, sebentar lagi aku harus pergi dari kantor ini. Nggak terasa, sudah tiga bulan aku menghabiskan waktu bersama rekan-rekan kerja yang menyenangkan. Termasuk Kinara yang sudah diangkat menjadi karyawan tetap di kantor ini.

Sebuah tangan meletakkan satu cup besar ice americano di atas meja. Aku beringsut, menegakkan badan dan melihat Kinara tersenyum sedih. Ia menepuk bahuku pelan, penuh makna.

"Aku nggak mau pindah huhu."

"Lalu kamu mau jadi pengangguran?"

Aku menggeleng keras. "Tapi Surabaya jahat," desahku pasrah.

"Kamu bilang teman-temanmu ada di sana semua?"

"Iya, Kinara. Tapi aku belum siap menghadapi dunia luar. Aku takut kalau aku nggak cocok di sana. Kamu tau kan aku ini lemot."

Kinara mendesah, menyeret bangkunya lantas duduk di sebelahku. Ia menggenggam kedua tanganku di pangkuan, matanya menyiratkan semangat yang begitu besar.

"Kemana perginya Lola yang kepercayaan dirinya selangit itu? Yakin deh, kamu bakal baik-baik saja. Karena kamu itu Lola."

"Aku bakal pulang tiap minggu buat ketemu kamu."

Kinara memelukku erat. Menyalurkan berbagai macam cara agar aku bisa bertahan. 3 bulan mengenalnya, aku tahu pasti bahwa ia adalah orang baik, teman baik, dan sahabat baik.

"Aku juga bakal kangen kamu, La."

Kami tergelak.

****

Aku baru selesai menata barang-barang pindahanku ke kos. Unboxing segala macam keperluanku selama tinggal sendirian. Pertama kalinya dalam beberapa bulan aku kembali ke rantauan.

Menghela napas, aku merebahkan tubuhku di atas kasur tanpa ranjang berukuran 120 x 100 sentimeter. Mataku menelusuri tiap sudut kamar seluas empat kali lima meter persegi. Di sudut ruangan ada kamar mandi yang berhadapan dengan dapur. Dindingnya berwarna putih bersih, lantai keramik putih seruas empat puluh sentimeter tertata apik sebagai alas.

Kos seharga tujuh juta setahun. Aku meringis, gajiku selama menjadi magang tidak menutup uang sewa, akhirnya aku meminjam uang pada Mama. Tentu saja Mama nggak membiarkanku membawa uangnya dengan sukarela. Masih ada rentetan omelan dan celotehan serta pukulan pada bahuku agar aku berhati-hati menyimpan uang alias berhemat.

Tentu saja, Lola dan segala ketidakbecusannya dalam menjalani hidup, begitu tambahnya.

Setidaknya aku punya pekerjaan tetap. Seminggu yang lalu aku mendapat kabar dari Pak Harsa, manager tempatku magang, bahwa aku mendapat tawaran karyawan tetap, tapi di cabang Surabaya. Awalnya aku berat hati dan ingin menolak saja, tapi aku ingat bahwa pengangguran bukanlah pekerjaan yang sepadan dengan titelku.

Aku menyerah dan menerima tawaran itu.

Suara ketukan pintu nyaris membuat jantungku lari terbirit-birit. Tak lama kemudian pintu terbuka dan sebuah kepala menyembul dari baliknya.

"Udah makan?"

Evansyah. Dengan segala kerendahan hati dan taubatku, aku harus diseret oleh laki-laki paling tega dan tidak peka ini dari rumah dengan embel-embel akan menjagaku. Dan Mama percaya-percaya saja kalau bocah ini akan memperlakukanku dengan baik. Ugh. Mama dan ketidakpekaannya, hampir setaraf Evan, tapi hanya tentangku. Dan ya, aku terseret dan berakhir satu tempat kos dengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang