LOLA - BAGIAN 3

10 2 1
                                    

Aku sangat menyukai aroma kabut dan embun-embun di pagi hari di Bumiaji.
Dengan sinar matahari yang tampak malu-malu, kicauan burung dan beberapa tonggeret yang bersarang di dahan-dahan pohon durian. Aku suka pedesaan. Melepas penat dari hiruk-pikuk kota.

Dulu Evan sering mengajakku bolos sekolah dan kemari. Dulu, ketika tidak ada kegiatan sama sekali. Ketika yang kutahu hanya sekolah dan bolos. Kami sepakat untuk tidak mengambil tambahan mapel seusai jam sekolah. Dan waktu itu dihabiskan berdua untuk bermain, hangout, nginep di sini dan mengunjungi perpustakaan kota.

Dulu ... ketika lingkaran pertemanan masih banyak, tapi sama sekali tidak ada ikatan di antara kami berdua. Sekarang, Evan dan aku memiliki pekerjaan dan kota yang berbeda. Dia juga sudah memiliki Fira. Waktu berdua kami semakin terasa sedikit. 

Sekarang, ketika lingkaran pertemanan kami mulai mengerucut, aku merasa mulai kesepian. Bahkan ketika aku bersama Evan sekalipun. Perlahan-lahan kami memang mulai berubah. Tidak sedekat dulu. Tidak sehangat dulu. Tidak seakrab dulu. Seperti ada jurang pemisah di antara kami berdua. Tak ayal, ketika Evan mengajakku kembali ke sini, seolah ada jembatan tak kasat mata yang mulai terbangun di antara kami berdua.

"Lo udah mandi? Mau jalan-jalan cari sarapan?"

Aku terhenyak ketika Evan tiba-tiba muncul dari belakang dan menarik ikat rambutku hingga terlepas. 

"Sialan lo, gue kaget setengah mampus nih!" gerutuku sambil merebut kembali ikat rambutku dan memasangnya.

"Lo ngelamun lagi ya? Perasaan yang punya masalah itu gue, bukan elo."

Aku menoyor lengan kurusnya dan berujar, "bacot. Yuk ah gue juga laper."

Kami memutuskan untuk jalan kaki mengitari jalan utama dan mencari warung nasi pecel kesukaan kami. Aku dan Evan memiliki banyak kesamaan, terutama soal makanan. Dan kami berdua sama sekali tidak pilih-pilih, makanya persahabatan kami awet semenjak kecil hingga sekarang.

Aku mengelus-elus perutku sambil menahan diri untuk tidak bersendawa. Evan paling benci aku bersendawa di tempat umum, karena menurut dia itu sangat jorok dan tidak beretika.

Tapi aku suka sekali menggodanya jadi sesekali aku melakukannya dengan keras. Dan alhasil aku didiamkan selama beberapa hari.

"Kenyang?"

Kuanggukan kepalaku bersemangat.

"Ya iyalah dua piring nambah lauk lagi terus sama kerupuk juga. Gimana nggak kenyang, dasar gentong!"

Aku tertawa mendengar kenyataan yang baru saja dia paparkan. Evan dan mulut tajamnya.

Aku baru sadar kalau ponselku terbengkalai sejak kemarin. Kuputuskan untuk mengecek whatsapp. Dan yeah, banyak sekali chat dari bocah-bocah.

DemitRi : La, udah pulang?
DemitRi : La, udah makan?
DemitRi : La ... Evan kabur
DemitRi : La, Evan nggak pulang ke situ? Di kosan dia nggak ada
12 missed call from DemitRi
DemitRi : Kalian berdua ya? Gue tau dari Mama kamu. Jaga diri baik-baik.

Aku mengerjap. Aduh, Dimi tahu dong kalau aku sama Evan. Semoga masalahnya tidak jadi rumit.

"Habis ini pulang, ya?" ajakku ketika kami sampai di rumah kakeknya Evan.

Evan diam. Dia tidak menjawab ajakanku dan malah menyalakan televisi.

"Van!!" teriakku sambil merebut remote control dari tangannya dan menekan tombol OFF.

"Apa sih! Pulang sendiri aja sono!"

Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, dia juga melakukan hal yang sama. Tanda perdebatan akan segera dimulai.

LolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang