LOLA - BAGIAN 2

27 3 0
                                    

"Udah aman?" tanya Evan ketika kami bertemu di salah satu kafe langganan sejak SMA.

Aku menggeleng sambil mataku tetap fokus pada layar ponselku. Jempolku bergerak dengan cekatan ketika sedang menembak target dengan senapan M416. Evan yang ceroboh itu terlebih dahulu meninggalkanku karena ingin mengambil airdrop di tengah laut. Padahal lingkaran semakin mengecil dan waktunya terbatas, tapi si bodoh itu malah nekat ambil resiko.

"Cepetan, Van. Zona nih."

Evan diam saja, tidak menggubrisku. Namun dia bergerak perlahan mendekatiku yang sedang sembunyi di semak-semak.

"Van, gue dikeroyok!"

Evan tidak banyak berkata, namun segera memberantas dua orang yang sedang mengeroyokku itu. SIAL! Kenapa sih cowok lebih cekatan kalau soal game? Kan nggak adil banget gitu.

"Tinggal satu squad doang."

"La, jangan sembunyi di situ, baju lo nyolok banget. Sono pindah ke N dikit."

Aku menurut. Di perjalananku ngeprone ke belakang batu, aku menemukan satu musuh berbaju kuning di depan. Dia tidak melihatku, kesempatan emas. Segera kutarik senapan UMP9 dan kutembak.

"Mampus lo!!! Tinggal satu, Van.

Paling gampang emang kalau udah di lahan terbuka ketimbang di perumahan. Karena males banget kalau harus petak umpet di bangunan.

"BOOOOMMMM!"

"C*k kaget gue dibom!"

Kata-kata mutiara cecowokan keluar. Untung bukan isi kebun binatang yang berkeliaran.

"Lo ngebom?" tanya Evan.

"Enggak, musuhnya. Arah 225 noh! Loh? Loh? Udah menang? Gitu doang?" tanyaku setengah tak percaya.

Evan menoyor kepalaku pelan. "Jangan sombong, bocah!"

Aku meringis dan segera menandaskan kopi hitamku yang sudah dingin. "Pulang yok. Lo balik jam berapa?"

"Besok pagi aja deh."

"Lo nggak ke rumah Fira?" tanyaku sambil mengemasi barang-barang ke dalam tas.

"Tadi siang udah ketemu sebentar. Lo pulang sendiri apa dianter?"

"Emmm... Pulang sendiri aja deh. Lo juga kudu cepet balik, besok kan balik. Gue mah gampang," ucapku.

"Iya juga, mana ada yang mau cegat elu. Nggak ada guna sama sekali."

"EVAN!"

Aku hampir memukulnya, namun dia berlari kesit sekali menuju kasir. Ditraktir lagi nih ceritanya. Duh. Betapa tidak bergunanya diriku sama sekali.

"Van, besok gue udah mulai kerja loooh."

Evan tampak tertarik. "Oh iya? Kok lo baru bilang?"

"Hehe, lupa. Habisnya intern doang sih, belum tentu juga bakal jadi pegawai tetap."

Evan tampak memandangku lama. Tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Namun, mengenal Evan hampir seluruh hidupku, aku yakin dan paham betul ada pancaran bangga dari matanya. Meski tanpa berkata-kata, dia selalu memotivasiku lewat chat-chat tengah malam ketika aku insomnia. Sering juga dia mengirim lowongan-lowongan pekerjaan meskipun di jam kerjanya sekalipun.

"Intern kan juga halal, La. Daripada lo mandi dua hari sekali dan bikin nyokap lo berpikir buat jodohin lo melulu?"

Aku mengangguk membenarkan. "Evan emang bocah paling menyebalkan di seluruh dunia."

LolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang