Bab 20

27 2 0
                                    

Maria menyesali atas pertemuannya dengan Alex kemarin malam pada acara pesta Sabrina. Maria menyadari jika bertemu dengan Alex itu sangat bodoh! Ia tahu jika bertemu dan mengobrol dengan Alex akan membuat Alex kembali mendekatinya. Sebab dengan itu ia telah memberi jalan untuk Alex menaruh harapan tentang dirinya.

Padahal beberapa hari yang lalu Maria dengan keras berusaha untuk menghindar dari lelaki itu. Sudah cukup baginya untuk membuat masalah demi masalah dalam hidupnya. Mendekati Alex memang bukan hal yang salah. Akan tetapi menjadi salah ketika hal itu diketahui oleh Sabrina.

Gue nggak akan ngebiarin Alex mendekati gue lagi! Nggak akan pernah!

Maria memejamkan matanya untuk menguatkan diri. Menjauhi Alex memang akan terasa begitu sakit baginya. Tetapi Maria harus ikhlas demi sahabatnya 'Sabrina'. Baginya Sabrina adalah segalanya. Sabrina jauh lebih berharga daripada dirinya sendiri.

"Anak Ayah belum tidur?" Maria terkejut saat melihat Sandi sudah berada di depan pintu, menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Belum ngantuk, Ayah." Maria tersenyum tipis pada Sandi berusaha menyembunyikan kegelisahannya malam ini.

"Ada apa? Ceritakan semuanya sama Ayah. Itu pun jika Maria tidak keberatan." Dengan lembut Sandi mulai mengelus kepala Maria. Sepintar-pintarnya Maria menyembunyikan masalahnya Sandi pasti tahu apa yang ada dipikirannya.

"Ayah, jika harus memilih, Ayah pilih mana mempertahankan persahabatan dengan menjauhi orang yang kita suka, atau merusak persahabatan demi orang yang kita suka? Meski itu sakit." Maria melirihkan suara saat bicara kata sakit.

Untuk sesaat Sandi terdiam. Ia memang tidak cukup berpengalaman menjawab pertanyaan semacam ini. Karena kenyataannya ia belum pernah merasakan jatuh cinta terhadap orang yang benar-benar ia suka. Pernikahannya dengan Margaretha adalah sebuah kesalahan. Meski tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Pernikahan itu karena paksaan menutupi aibnya keluarga. Tidak ada cinta kasih di dalamnya. Ada sih, ketika Margaretha pergi meninggalkan dirinya. Dan itu pertama kali Sandi merasakan sayang terhadap wanita. Namun, rasa sayangnya dalam sekejap berubah menjadi rasa sakit dan pedih luar biasa. Ternyata benar kata orang ditinggal pas sayang-sayangnya itu terasa begitu menyiksa.

"Ayah." Maria mengguncangkan tubuh Sandi yang membuat ia tersadar kembali ke dunia nyata.

"Memangnya anak ayah suka sama siapa sih?" Sandi mencubit pipi chubby Maria. Ia berusaha menyingkirkan bayangan-bayangan tentang Margaretha sekaligus berusaha tegar di hadapan Maria.

"Ayah, apaan sih, Maria cuma tanya aja kok!" Dengan sedikit menoleh Maria tersenyum sedikit. Ia mencoba menyembunyikan pipi merahnya.

"Ayo sama siapa?" Sandi menaik turunkan alisnya. Membuat Maria semakin malu.

"Ayah nyebelin ih suka ngejek anaknya." Dengan gerakan cepat Maria memukulkan sebuah guling ke tubuh Sandi.

"Aduh! Ampun, sudah ampun!" Sandi berdiri dari kasur dan berlalu. "Ciiiee anak Ayah lagi suka sama seseorang."

Setelah mengatakan itu Sandi menghilang dari balik pintu. Maria yang siap melemparkan bantal pun mengurungkan niatnya sebab ayahnya sudah menghilang pergi ke kamarnya.

Maria menelungkupkan tubuhnya di atas kasur. Keinginan untuk menyingkirkan Alex dari pikirannya seakan sia-sia setelah apa yang dilakukan Sandi barusan malah membuat Maria semakin terbayang aksn sosok Alex. Seakan berputar-putar di atas kepalanya. Memenuhi semua isi otaknya.

Maria lo nggak boleh suka sama Alex! Lo harus lupain Alex!

Maria mengusap wajahnya berulang kali. Ia frustasi memikirkan cara untuk menghilangkan ini semua. Rasa yang benar-benar keparat baginya.

Sandi sempat lewat di depan kamar tidurnya beberapa kali dan sebanyak itu pula ia meledek anaknya yang tengah duduk di atas kasur.

Sandi memang tipikal seorang yang berjiwa muda, selalu mengerti akan perkembangan zaman anak muda. Itulah sebabnya Maria selalu merasa senang mempunyai Ayah seperti Sandi. Tidak! Bukan hanya sekedar Ayah tapi Sandi juga berperan sebagai seorang sahabat bagi Maria.

Membicarakan tentang Sandi. Maria menjadi teringat sesuatu.

Bukankah kemarin malam ulang tahun Sabrina. Itu berarti besok ulang tahun Ayah.

Maria bergerak cepat untuk menutup pintu.

Dengan mengangguk-anggukan kepala Maria mengambil celengan yang berada di bawah kasur. Menghitung jumlahnya dan merencanakan akan membelikan sesuatu untuk pahlawan yang telah membesarkannya selama ini.

Uang ini lumayan untuk membeli hadiah Ayah. Tapi mau beli apa ya untuk Ayah. Duh gue harus tanya siapa? Alex!

Dengan menjentikkan jari ia mempunyai ide jika Alex orang yang tepat untuk ditanya tentang hadiah Sandi. Mungkin karena Alex adalah seorang lelaki sehingga tahu apa yang di sukai ayahnya.

No, no, no, jangan Alex! Maria lo kenapa sih harus Alex lagi, Alex lagi yang ada dipikiran lo!

Maria menepis dengan segera pikirannya tentang Alex. Bagaimanapun caranya sebisa mungkin ia akan mengenyahkan pikirannya tentang Alex. Hal ini Maria sugestikan terhadap dirinya berulang kali. Bahwa ia tidak akan melibatkan Alex terhadap semua urusannya.

Dengan perasaan yang masih gusar Maria  menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Ia terduduk dengan posisi kepala di sembunyikan di antara kedua lututnya. Tanpa sengaja Maria meneteskan air matanya. Membayangkan betapa besar perjuangan Ayah membesarkan dirinya tanpa seorang istri.

Gue benci Mama! Gue nggak mau lagi mengingat tentang Mama! Seorang yang tega ninggalin gue di saat gue butu cinta kasihnya.

Membayangkan perjuangan Ayah membuat Maria semakin membenci Mama. Kata orang kasih sayang seorang Ibu sepanjang masa. Bulshit! Ia tak akan percaya akan hal itu. Kenyataannya Mama menghancurkan itu semua dengan meninggalkan ia di masa kecil. Mama begitu tega atas dirinya. Dan sampai kapanpun Maria akan selalu membenci Mama.

Andaikan ada Mama pasti ada seseorang yang dapat aku ajak buat membeli hadiah untuk Ayah! Ah, buat apa gue masih ingat orang yang udah lupain gue sama Ayah.

Dengan mendengkus kesal Maria melempar bantal ke sembarang arah.

Sabrina! Gue ajak aja Sabrina untuk nemenin gue mencari kado! Tapi--.

Tiba-tiba ingatan Maria mengarah pada sahabatnya Sabrina. Namun, akhir-akhir ini Maria merasa canggung dengan Sabrina. Perasaan bersalah yang membuat persahabatan renggang ternyata masih menyisakan jarak di antara mereka. Meskipun Sabrina sudah memaafkannya, tapi hal itu tetap saja berbeda dari hari-hari yang dahulu.

Untuk beberapa saat Maria masih terdiam di atas kasurnya. Ia menarik embuskan napas perlahan untuk menenangkan pikiran yang sedikit gelisah memikirkan tentang ini semua.

Gue harus bicara sama Sabrina esok hari! Gue harus berani menghilangkan rasa canggung ini demi Ayah!

Maria mengemasi beberapa uang receh yang berceceran di atas kasur untuk di masukkan ke dalam tas. Supaya besok ia langsung segera membeli barang untuk Ayahnya.

Setelahnya Maria merebahkan tubuh di atas kasur. Memandangi setiap langit-langit kamarnya sebentar sebelum ia memejamkam mata memasuki dunia mimpi yang akan mengantarkan dirinya menyambut esok hari menjadi lebih baik.

KunoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang