"Kok gue bego banget ya?" gumam Kadit Joffaris anak IPS kelas XII itu.
"Emang iya kan? HAHAHAHA," kata Alex tertawa terbahak-bahak. Kadit yang sedang bingung, tambah bingung. Apakah suaranya sekencang itu sampai gumamannya terdengar?
"Eh, lo ada 50 ribu ga?" tanya Kadit mengabaikan ejekan sahabatnya yang sering ia panggil "singa" itu. Karena baginya, uang yang ia butuhkan itu lebih penting."Engga, lagi miskin nih gue. Jajanin dong, Dit," balas Alex yang malah mengemis.
"Diem lo, gue lagi bingung nih." Kadit mengacak-acak tasnya. Berharap ia menemukan sejumlah uang yang ia butuhkan. Bahkan, lebih dari itu. Tangannya yang mengelilingi isi tasnya berhenti tepat di atas sebuah kertas yang kaku.
"Oh iya! Gue belom bayar uang sekolah!" Kadit menepuk jidatnya. Ia menarik amplop berwarna putih dari tasnya, kemudian meletakkannya di atas meja.
"Apa gue pake duit ini dulu ya?" Kadit bergumam namun mengarahkan wajahnya ke Alex.
"Terserah lo," ujar Alex singkat. Kadit memutarkan bola matanya. Alex memang tidak membantu sama sekali.
"Ya udah lah, lagian gue bayar besok aja juga gak apa-apa kan?" Kadit menyelesaikan masalahnya. Ia mengambil uang yang berwarna biru dari amplop tersebut, kemudian menyerahkannya kepada Sean.
"Nih, mana flashdisknya?" Kadit meletakkan uangnya di atas meja Sean. Sean yang sedang menulis, menghentikan aktivitasnya. Ia menyerahkan flashdisknya kepada Kadit tanpa membuka mulut.
"Thanks-"
"Kadit Joffaris?"Terdengar panggilan seseorang dari arah pintu kelas. Suaranya feminim dan penuh wibawa. Kadit langsung memutar badannya menghadap ke sumber suara.
"I-iya Bu?" sahut Kadit terbata-bata. Alangkah terkejutnya Kadit menemukan yang memanggilnya adalah kepala sekolah."Kamu belum bayar uang sekolah ya?" tanyanya dengan lembut. Memang Bu Ina, sang kepala sekolah, terkenal sebagai orang yang lemah lembut.
"Belum, Bu." Kadit menunjukkan cengiran kuda. Aduh, kacau dah kalo kayak begini, batinnya.
"Udah bawa uangnya?" tanya Bu Ina kembali yang membuat jantung Kadit berdegup cepat.
"Udah, Bu." Kalimat singkat kembali pula Kadit keluarkan. Tubuhnya menghasilkan keringat yang amat banyak.
"Ya udah, nanti pas istirahat kamu bayar ya," kata Bu Ina kemudian beranjak pergi. Kadit pun bingung harus bagaimana. Masa ngorbanin uang jajan gue? Gak ada, ah! batin Kadit kembali bersuara.
"Ada aja cobaan kayak begini." Kadit duduk di kursinya kemudian mengistirahatkan kepalanya di atas meja. Usahanya untuk tidur pun gagal. Ia sangat gelisah. Rambut hitamnya itu pun diacak-acak olehnya. Mengerti sahabatnya sedang frustasi, Alex langsung memberikan saran.
"Lo batalin aja dulu bentar sih 'bisnis' lo itu," saran Alex. Bener juga nih orang, pikir Kadit.
"Sean balikin duit gue dulu. Besok aja gue kasih lagi. Nih, ambil aja flashdisk lo." Kadit langsung mengambil keputusan secara cepat. Sayangnya, keputusan tersebut tidak berjalan mulus.
"Kagak ada, udah ngambil gak bisa balikin." Sean menolak mentah-mentah tawaran Kadit.
"Dih, flashdisk lo kan gue balikin?!" Aneh, padahal tawaran Kadit cukup adil. Ia mendapatkan uangnya kembali, Sean pun tidak rugi.
"Lo diem, atau gue laporin lo ke kepsek?" ancam Sean. Ancaman yang bodoh, menurut Kadit. Jika Sean melaporkannya, bukannya Sean juga akan terkena masalah? Dia yang menjual video itu. Dialah biangnya.
"Lo tolol atau gimana sih? Kan lo yang jual. Lo juga kena lah!" Kadit nyengir meremehkan.
"Kan ayah gue ketua yayasan, lupa?" sekakmat. Kadit lupa soal itu. Sialan, kutuknya dalam hati. Pasrah, Kadit pun kembali ke kursinya.
Kriiiing...
Aduh, mampus nih gue, ujar Kadit dalam hati. "Perhatian, bagi para siswa-siswi yang belum membayar uang sekolah dan sudah membawa uang tersebut harap ke ruang administrasi sekarang juga. Terima kasih."
"Apa gue nipu, atau nyuri? Atau kasih, terus kabur aja kali ya? Aduh gimana ini coy?!" gumam Kadit panik.
"Cepetan turun, dulu gue kelamaan, orangtua gue dipanggil. Padahal gue bawa," saran Alex lagi. Kadit hanya terdiam.
...
Kadit mengambil barisan paling belakang. Matanya menjelajah ke sekelilingnya, berharap menemukan uang yang terjatuh. Hanya saja, dewi fortuna sedang tidak berpihak kepadanya. Sepertinya.
"Tadi aku jajan es krim, roti cane-" gumam seorang perempuan yang bertubuh mungil, berparas imut layaknya anak kecil, namun suaranya cukup berat untuk ukuran perempuan.
"Eh, lo sini deh," panggil Kadit kepadanya. Perempuan itu yang sedang menghitung uangnya, yang cukup tebal, berhenti dan mendekati Kadit.
"Iya, -eh." Perempuan itu menghentikan kalimatnya seperti menyadari sesuatu. Ia pun menunduk seakan malu dengan Kadit. Ya elah, fans gue lagi nih, batin Kadit. Perkiraannya memang wajar, karena Kadit termasuk si most-wanted di sekolahnya.
"Itu, kan duit lo segepok, mending lo pinjemin gue dah. 50 ribu aja," pinta Kadit. Demi uang sekolah, Kadit rela merusak image "cool"-nya. Surat panggilan sudah seperti koran langganan. Setidaknya, sekali-sekali ia bertingkah baik bukan?
"Buat apa?" Perempuan berambut wavy itu otomatis mendongak. Jelas, siapa yang tidak kaget dipinjam uang oleh orang yang tidak dikenal?
"Buat uang sekolah, kurang ini. Janji diganti deh!" Kadit memohon—walau lebih terlihat kalau ia sedang memaksa kepada Keenan.
Sempat terbingung, uang sekolah kurang? apakah dia lahir dari keluarga fakir miskin sampai uang sekolahnya kurang untuk membayar? Padahal gaya Kadit cukup terbilang keren, bahkan terlihat jelas bahwa benda-benda yang dia pakai di sekujur tubuhnya branded, dan asli. Entahlah, Keenan tetap berpikir positif dan merasa iba kepadanya.
Tanpa berbicara lagi, perempuan itu memberikan uangnya. "Lo tunggu di sini, ya." Kadit pun langsung membayar uang sekolahnya kepada administrasi sekolah secara cepat. Anehnya, perempuan itu menuruti perintah Kadit. Ia masih berdiri di tempat yang sama.
"Jadi, nama lo siapa?" tanya Kadit setelah menyelesaikan urusannya. Setidaknya, ia lebih lega sekarang berkat Keenan, si perempuan mungil yang menggemaskan itu.
"Keenan." Perempuan itu menyipitkan matanya yang merasakan silaunya matahari. Jawabannya yang singkat itu menyembunyikan rasa takutnya kepada Kadit. Sayangnya, Kadit menyadari bahwa ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Lo kenapa sih, salting?" Kadit melontarkan pertanyaan frontalnya. Tebakannya salah. Ini semua bukan seperti yang ia pikirkan.
"Bu-bukan gitu."
"Lah, lo kan yang nontonin gue berantem kemarin!"Mata Keenan membelalak. Nonton? Niat buat mau tahu aja engga, batin Keenan. "Lihat sekilas, bukan nonton," jelas Keenan. Kadit hanya geleng-geleng mendengar jawaban Keenan. Sang peminjam uang menarik nafas, kemudian mengganti topik yang baru.
"Jadi, mau ganti kapan?" tanya Keenan mengangkat dagu. Buset, tengil banget, batin Kadit. Andai Keenan tahu bahwa Kadit jagoan sekolah, pasti ia tidak akan berani melakukan hal itu."Kapan-kapan," jawab Kadit santai. Mata Keenan kembali membelalak. Kenal, tidak. Meminta, iya—karena sepertinya ia tidak berniat untuk mengembalikan bukan?
"Keenan gak mau tahu, pokoknya harus dibalikin. Lihat aja, nanti kamu Keenan terror tahu rasa." Keenan mengancam sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Kadit.
"Gak usah sok imut cara ngomong lo. Gak cocok tau ga?" Kadit memandang sinis Keenan, kemudian mendecak sebal.
"Cara ngomong Keenan memang begini. Terserah kalau mau bilang sok imut." Keenan pun meninggalkan Kadit. Kadit hanya terdiam. Halah, paling nanti juga lupa, batin Kadit sambil tersenyum kecil.
YOU ARE READING
DEBT
FanfictionAndai uang sekolah Kadit tidak kurang, mungkin kisahnya dengan Keenan tidak akan terjadi. Semua berjalan seperti biasa, bahkan mungkin menghasilkan kisah Kadit dengan orang lain. Namun, Tuhan berkehendak lain. Ia mempertemukan Kadit dengan seorang p...