Official

3.1K 214 2
                                    

Mobil berhenti di restoran yang menyajikan steak, tempat makan yang terkenal di banyak orang. Indira pernah makan disini dan biasanya bersama keluarga, tidak dengan teman-temannya karena memang harganya mahal.

“Kak, kita makan disini?” tanya Indira memegang lengan Fajar.

“Ya, kenapa?” Indira menatap Fajar penuh ketakutan “Aku baru dapat gaji dari RSJ.”

Indira menggelengkan kepalanya “Nggak dibuat makan gini juga kali, kak. Mending kita makan di tempat biasa saja, uang kakak bisa dibuat yang lain.”

“Lain? Kaya apa? Biaya menikah? Aku sudah siapin kalau itu.” Fajar mengatakan dengan santai membuat Indira membelalakkan matanya. “Udah, kita keluar. Aku udah lapar.”

Menatap Fajar yang keluar dari mobil membuat Indira hanya bisa pasrah mengikutinya, Fajar sendiri menunggu Indira keluar dari mobil dengan harap-harap cemas, tersenyum tipis saat melihat Indira keluar dan melangkah kearahnya. Mengambil tangan Indira dengan menggenggam tangannya, tindakan Fajar membuat Indira terkejut tapi berusaha bersikap biasa saja.

Masuk kedalam, memesan makanan langsung. Indira akan meminta uang pada orang tuanya untuk mengganti uang Fajar, uangnya sekarang tidak akan cukup membayar makanan yang dimakannya. Fajar menatap Indira yang diam seakan memikirkan sesuatu, tersenyum kecil setiap melihat bahasa tubuh Indira.

“Berita Mala sama Romi cepat sekali.” Fajar memulai pembicaraan yang diangguki Indira “Nggak ada yang mau adik ceritakan?”

“Kak, tahu Lia?” Fajar menganggukkan kepalanya “Lia katanya kirim pesan ke kakak tapi nggak pernah dibalas, kenapa?” Indira langsung bertanya saat mengingat kata-kata Lia.

“Nggak mau aja,” jawab Fajar malas membuat Indira menatap bingung “Adik mau kalau aku balas pesan cewek lain?”

“Lia suka sama kakak, aku diminta jadi mak comblang. Dia kira Mala sama Mas Romi jadian gara-gara aku padahal nggak sama sekali karena mereka usaha sendiri, aku malah nggak tahu gimana mereka berusaha, terus aku jawab tentang Mala dan Mas Romi tapi dia nggak percaya dan minta buat aku dekatin dia sama kakak, aku bilang dekatin aja sendiri coba kirim pesan tapi Lia jawab nggak ada satupun dibalas.” Indira menceritakan kejadian tadi.

Fajar mengambil ponselnya, memberikan pada Indira yang membuatnya bingung “Adik bisa buka pesan dia lalu balas.”

Indira menggelengkan kepalanya “Nggak mau! Kakak jangan aneh-aneh, kenapa?” menatap horror Fajar.

“Sebenarnya udah mau aku blokir aja sih nomer dia, habis ganggu banget.” Indira menatap penuh rasa ingin tahu “Kita disini bahas tentang kita bukan orang lain.”

“Memang apa yang mau dibahas?” tanya Indira penasaran.

“Hubungan kita.” Fajar menjawab langsung.

Indira terdiam mencoba mengingat sesuatu, tidak mungkin setelah makan ini hubungan mereka berakhir, kalau memang iya berarti Fajar memutuskan pacar-pacarnya dengan cara seperti ini. Indira mencoba menyiapkan diri agar tidak sakit hati.

“Jangan mikir macam-macam, kita makan dulu baru bicara lagi “ Fajar mmberikan tatapan lembut.

Pelayan datang meletakkan makanan pesenan mereka berdua, melihat makanan membuat Indira bersemangat dan langsung menikmatinya, melupakan Fajar yang ada dihadapannya. Tidak melepaskan tatapannya pada Indira, selalu menyenangkan melihat Indira makan. Mereka berbeda dalam beberapa hal dalam makanan, tapi satu yang Fajar sadari adalah Indira tidak terlalu suka sayur.

“Makannya pelan, sayang.” Fajar mengambil tissue menghapus bumbu yang ada di sudut bibir Indira “Berantakan banget.”

Indira membeku saat melihat tindakan Fajar, tidak hanya itu kata-kata yang dikeluarkan saat memanggil dirinya.

“Aku nggak akan minta, jadi pelan-pelan aja.”

Fajar kembali menikmati makanan seakan apa yang dilakukannya adalah hal biasa, walaupun sebenarnya jantungnya berdetak sangat kencang. Makan dalam diam membuat Indira tidak tahan, dirinya bukan orang yang suka dalam kondisi tenang.

“Kakak mau bicara apa?” tanya Indira langsung.

“Mau bicara sekarang sambil makan?” Indira menganggukkan kepalanya “Ok, aku mau bicara tentang hukuman.”

“Hukuman?” ulang Indira yang diangguki Fajar “Hukuman jadi pacar kakak?” Fajar menganggukkan kepalanya “Hukumannya berakhir, bukan?” lagi-lagi Fajar menganggukkan kepalanya “Lalu?”

“Hukuman memang berakhir, tapi hubungan kita yang kata adik tidak jelas ini membuatku berpikir untuk memperjelas hubungan kita.” Fajar mengatakan tepat dengan menatap kedua mata Indira.

“Maksudnya?” tanya Indira penasaran.

“Indira Pradipta, maukah kamu menjadi pacarku? Menemani aku sampai memang waktunya kita menempuh hidup baru nantinya.” Fajar mengatakan menatap kedua mata Indira dalam yang membuatnya terkejut dan menutup mulutnya “Aku memang punya masa lalu yang buruk, adik tahu itu semua, tapi satu hal yang adik tidak tahu adalah aku melakukannya untuk mengobati diri dari trauma. Traumanya apa? Aku akan cerita kalau memang adik menerima proposalku.”

“Kakak nggak salah? Mantan kakak banyak yang lebih ok dibandingkan aku, harusnya sama mereka bisa mengobati kakak, sedangkan aku? Mana tahu hal begituan.” Indira memberikan alasan.

“Jadi ini penolakan?” tanya Fajar dengan nada sedihnya.

“Bukan!” Indira langsung menggelengkan kepala membuat Fajar tersenyum tipis “Aku hanya memberikan gambaran.”

“Lalu jawaban adik?” tanya Fajar menuntut.

“Ok, aku terima.” Indira menjawab sambil memasukkan daging kedalam mulutnya.

Fajar menggelengkan kepalanya melihat sikap Indira “Jadi sekarang kita resmi pacaran?” Indira menganggukkan kepalanya “Berarti bisa berita ini disebarkan sama kaya Mala dan Romi?”

“Jangan!” Indira menggelengkan kepalanya “Aku belum siap.”

“Masa lalu aku dengan wanita itu? Kami berakhir baik-baik saja jadi adik nggak perlu khawatir.” Fajar menenangkan dirinya.

“Bukan, aku belum siap kalau mereka semua tahu.”

“Backstreet dari anak-anak?” Indira langsung menganggukkan kepalanya “Nggak bisa janji.”

Indira membelalakkan matanya mendengar jawaban Fajar “Terserah.”

Memilih pasrah dengan keadaan, apalagi Indira tahu jika Fajar tidak bisa dibantahkan sama sekali. Semua yang dikatakannya adalah harus dilakukan dan dilaksanakan, Indira tidak bisa membayangkan kehidupannya nanti di kampus setelah mengetahui hubungannya dengan Fajar. Pria yang memiliki pesona di mata mahasiswi terutama Lia, tapi dia selalu menyukai pria-pria yang menjadi idola.

“Mikirin apa, sayang?” tanya Fajar menggenggam tangan Indira yang membuatnya terkejut.

“Kak, manggilnya biasa saja.” Indira langsung menolak panggilan itu.

“Kenapa? Adik pacarku jadi nggak ada yang salah dengan panggilan itu.”

“Kalau di kampus jangan panggil begitu, aku malu dan nggak enak di dengar sama mantan kakak yang lain.”

“Aku sudah berakhir dengan baik-baik, sudah bahagia dengan pasangannya masing-masing. Masa aku harus menyembunyikan hubungan ini? Tapi kalau adik takut baiklah aku akan mengikutinya, memang nggak mau kaya Mala dan Romi?”

“Terserah kakak enaknya gimana.” Indira benar-benar menyerah dengan Fajar.

Tidak banyak yang tahu sosok Fajar sebenarnya, di kampus terkenal dengan sikap tegasnya tapi saat bersama dengan Indira lebih terlihat tidak mau dibantah sama sekali. Mengetahui sifat Fajar membuat Indira memilih untuk mengalah, tidak ingin berdebat lebih tepatnya.

“Kita sudah resmi pacaran loh, sayang.”

Unexpected FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang