Keputusan Berat

2.3K 156 0
                                    

Ekspresi Fajar saat datang ke rumah membuat Indira sedikit takut, tidak pernah melihat Fajar dengan ekspresi seperti itu. Indira tahu pastinya dipanggilnya dirinya sama Retno sudah sampai di telinga Fajar, berita tentang itu sudah menyebar ke semua fakultas. Indira tidak bicara apapun bahkan ketika teman-temannya bertanya, tidak ingin membuat suasana menjadi panas.

“Kakak kenapa?” tanya Indira ketiga kalinya.

“Bu Retno ngapain adik?” Fajar menatap lembut pada Indira saat bertanya tentang kejadian itu.

“Nggak diapa-apain.”

“Jangan bohong, sayang. Aku tahu gimana Bu Retno lagian Budi cerita semuanya, suara Bu Retno terdengar sampai luar ruangannya.”

“Kalau gitu sudah tahu, kan? Jadi aku nggak perlu jawab.” Indira mengatakan dengan santai “Kak, benar aku nggak diapa-apain. Wajar sih Bu Retno kecewa dengan keputusan kakak buat nggak jadi dosen padahal kakak sudah disiapkan untuk itu.”

“Semua itu nggak ada hubungan dengan adik, walaupun memang ada dikit tapi bukan berarti Bu Retno bisa...”

Indira menghentikan kata-kata Fajar dengan menggenggam tangannya “Aku makasih karena kakak mendengarkan keinginanku, waktu itu aku nggak mau kakak jadi dosen karena memang nggak mau anak-anak berpikir negatif sama aku, walaupun nggak mungkin juga sih. Sekarang kakak sudah membuat keputusan artinya harus melakukannya dengan baik, nggak usah memikirkan apa yang terjadi sama aku karena aku bisa mengatasinya.”

Tatapan Fajar yang dalam membuat Indira terdiam, menatap kembali seakan mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Indira tidak mau memperpanjang masalah antara Fajar dengan Retno, bagaimanapun Retno adalah dosen mereka berdua dan memiliki niat baik untuk kemajuan Fajar.

“Aku kesal sama kakak.” Fajar mengangkat alisnya mendengar kata-kata Indira dengan ekspresi kesalnya “Kakak kenapa nggak bilang kalau nggak ada hubungan apa-apa sama cewek-cewek itu? Bahkan kakak seakan membenarkan pemikiran aku tentang cewek-cewek itu.”

Fajar mengangguk paham “Aku memang perhatian sama mereka, aku bilang kalau masalah mereka selesai karena mereka sudah punya pasangan sendiri-sendiri dan tidak memiliki masalah dengan mereka.”

“Terus kenapa nggak bilang kalau nggak ada hubungan sama mereka?” Indira gemas dengan jawaban Fajar.

“Ada hubungan, tapi hubungan teman bukan senior dan junior kaya adik sama Romi.”

Indira memutar bola matanya malas “Kenapa harus bawa Mas Romi? Aku udah bilang kalau yang dekat sama Mas Romi itu Aulia bukan aku, jadi wajar aku bilang senior dan junior.”

“Jadi nggak mau cerita tentang apa yang dikatakan Bu Retno?” Fajar kembali dengan permasalahan utama mereka yang diangguki Indira langsung “Aku mau kasih berita buat adik, tapi nggak tahu ini baik atau buruk.”

Fajar mengambil tangan Indira untuk digenggamnya, saling menatap satu sama lain. Bisa terlihat dengan sangat jelas ekspresi ketakutan dan kegelisahan dari wajah Fajar, beberapa kali menarik dan menghembuskan nafasnya, Indira mengulurkan tangannya memegang pipi Fajar dengan belaian lembut membuatnya sedikit tenang, tanpa melepaskan tatapan mereka Fajar menarik dan menghembuskan nafasnya kembali.

“Aku mau setelah ini adik lebih terbuka atas apa yang terjadi termasuk kejadian dengan Bu Retno, aku nggak mau terjadi sesuatu sama adik yang berkaitan sama aku dimana adik nggak tahu apa-apa. Aku melakukan ini semua demi menata masa depan kita berdua, adik memang tidak meminta apapun tapi aku sadar diri kalau nggak mungkin membuat adik susah ketika nanti kita bersama. Apa yang aku lakukan dulu pada saat awal bertemu adalah hukuman, seiring berjalannya waktu aku sudah yakin dengan perasaan ini yang sudah mencintai adik dan tidak tahu dari kapan. Sayang, mungkin setelah ini kita akan jarang bertemu, aku jarang datang ke rumah atau antar jemput tapi aku usahakan setiap bulan pulang.”

“Memang kakak mau kemana?” potong Indira.

“Kemarin-kemarin aku training disini, dua minggu lagi harus ke Jakarta penempatan disana. Aku harus banyak belajar disana, tidak menutup kemungkinan akan pindah-pindah kota juga “ Fajar menjawab tanpa melepaskan tatapan pada Indira.

“Berapa lama disana?” tanya Indira.

“Belum tahu, bisa jadi hanya beberapa bulan atau tahun.”

“Kakak benar nggak mau jadi dosen aja disini?” tanya Indira.

Fajar menggelengkan kepalanya “Aku sudah memikirkan lama, jadinya nggak akan pindah begitu saja. Adik tahu kalau aku baru mempunyai semangat ketika kita bertemu? Adik pasti sudah dengar dari Wahyu atau anak-anak lainnya kenapa aku nggak lulus-lulus.”

Indira mengerucutkan bibirnya “Aku sampai salah sangka kalau kakak banyak ceweknya.”

Fajar tertawa mendengar nada merajuknya tentang berita yang didengarnya “Aku senang kalau adik udah nggak dekat sama Lia.”

Indira melepaskan genggaman tangan mereka, mendekatkan dirinya dengan memeluk Fajar dari samping. Fajar membeku mendapatkan pelukan yang tiba-tiba dilakukan oleh Indira, mencoba untuk santai memegang tangan Indira yang berada di perutnya, menepuk punggung tangannya pelan. Hembusan nafas dikeluarkan pelan, tidak pernah mengalami seperti ini sebelumnya dengan yang dulu.

“Kenapa?” tanya Fajar dengan suara pelan.

“Nanti nggak ada yang antar jemput lagi, nggak ada yang ajak makan di pinggir jalan, nggak ada yang dimarahin soalnya selalu nyuruh Ryan.” Indira mengatakan apa yang dirasakannya.

Fajar tersenyum mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Indira “Aku jadi takut kalau nanti bakal suka sama Ryan.”

Cubitan lembut diberikan Indira pada perut Fajar “Mana ada begitu, Ryan memang kakak kasih apa?”

“Restu.”

Indira melepaskan pelukannya dengan menatap penuh selidik “Restu apaan?”

“Kita bahas itu nanti, sekarang membahas tentang kita berdua. Benar nggak mau cerita tentang Bu Retno?”

“Benar nggak mau cerita tentang cewek-ceweknya?” Indira menaik turunkan alisnya.

Fajar mencubit hidung Indira pelan “Sebelum aku pergi, bisa kita saling terbuka?”

“Maksudnya?” tanya Indira penasaran.

“Adik sudah kenal sahabat-sahabatku, kapan mau kenalin sahabat-sahabatnya? Aku tahu kalau adik suka keluar sama mereka beberapa kali, aku tahu karena pas datang kesini adik nggak ada terus mama yang kasih tahu.”

Indira mengerucutkan bibirnya “Kakak bisa tahu semua tentang aku, sedangkan aku sama sekali nggak tahu tentang kakak.”

“Makanya kita saling mengenalkan orang terdekat, adik kan sudah pernah keluar sama Awang dan Nathali. Fany juga udah tahu, tapi belum pernah secara santai. Mau main ke rumah? Ibu, bapak sama Fany mau ketemu adik.”

Indira membelalakkan matanya mendengar keinginan orang tua Fajar “Aku masih takut ketemu orang tua kakak.”

“Baiklah, kita mulai dari mengenal sahabat masing-masing.” Indira langsung menganggukkan kepalanya “Besok cuman satu kuliah?” Indira menganggukkan kepalanya lagi “Mau jalan?”

“Kemana?” tanya Indira langsung dengan penasaran “Apa masih ada rahasia kakak yang lain?”

“Tempat yang aku rahasiakan sampai sekarang. Aku sudah ijin sama papa mama buat ngajak kamu ke tempat ini.”

Unexpected FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang