Rumput tetangga tidak lebih hijau.
***&***
"Aku percaya ... Kakak tidak akan bilang semua itu ke Mama," ucap seorang gadis berambut hitam yang tengah duduk di salah satu ranjang Rumah Sakit Sehat Prima kelas VVIP.
Darren mengacak pelan poni gadis tersebut. Seulas senyum tercetak di bibirnya yang tidak pernah tersentuh batang rokok satu kali pun. "Iya. Kakak kan sudah janji merahasiakan itu semua dari awal."
Ucapan tersebut tidak urung membuat Steffie tersenyum puas dan merentangkan kedua tangan lemahnya. Posisi kepala ranjang yang dinaikkan mempermudah kakaknya untuk memeluk. Ia melingkarkan kedua tangan di punggung tegap Darren ketika laki-laki itu membungkuk.
"Kamu harus kuat, ya? Sebentar lagi, Kakak akan menjadi dokter hebat yang akan mengobatimu." Ia mengusap rambut lurus adiknya dengan sayang.
Laki-laki berkemeja biru navy itu pun memejamkan mata sesaat. Ingatannya berputar pada enam tahun lalu saat harus melawan hatinya untuk menolak kemauan mamanya menjadi dokter. Lantaran Steffie, ia memiliki motivasi kuat menuruti mamanya.
"Kakak mau tahu kenapa aku mendukung kemauan Mama?"
Laki-laki itu melepas pelukan, lalu menatap hangat satu-satunya saudara kandung yang dimilikinya. Ia mengangguk dan mengulas senyum sebagai jawaban.
"Itu karena aku akan merasa lebih nyaman dan lebih semangat untuk sembuh jika dokter yang mengobatiku adalah kakakku sendiri."
Kalimat itu membuat Darren ingat bahwa tahap perjuangan pertamanya hampir menemui titik akhir sebelum kembali menempuh pendidikan dokter spesialis. Ia segera mematri ucapan tersebut sebagai mantra penyemangat menempuh pendidikan yang semakin terasa berat.
"Aku percaya kok. Kakak kan lulus sekolahnya terlalu cepat, jadi pasti Kakak itu hebat." Steffie menyahut ketika Darren sudah kembali berdiri tegak di samping kiri. Meskipun terdengar lemah, aura ceria di wajah pucatnya tetap terpancar dan Darren tahu itu.
Tidak lama, adzan Isya terdengar dan itu artinya, Darren harus segera pamit. Ia hari ini mendapat jadwal malam sebagai koas. Ia menelepon mamanya untuk pamit lebih dulu, tetapi tidak ada jawaban.
"Mungkin, Mama lagi ada di ruang operasi, Kak." Gadis yang diwarisi gen mata cokelat terang dari sang Papa itu mengerti gelagat kakaknya.
Darren menghela napas dan memasukkan ponsel ke saku celana bahan. Ia mengecup kening Steffie yang tertutup poni, lalu berkata, "Kakak pergi dulu, ya? Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Steffie sambil menatap sosok berambut cokelat gelap itu menyambar jaket kulit hitam di lengan sofa.
***&***
"Dok, Dokter?!" Seorang perawat IGD lari tergopoh-gopoh menghampiri Darren setelah mendapat telepon dari rekannya di ruang ICU.
Darren yang baru saja selesai memeriksa pasien pun menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara di sisi kanan. Dahinya mengernyit karena menangkap nada panik. "Ada—"
"Dok, itu ... Mbak Steffie ap-apnea[1]," potong suster bernama Halimah dengan wajah pias yang tampak jelas. Ia kemudian menelan saliva untuk membasahi tenggorokan sambil mengatur napas.
Seketika mata Darren melebar dan jantungnya terasa lolos dari rongga dada. Detik itu juga, yang ada di pikirannya hanyalah Steffie. Tanpa membalas satu kata pun, ia segera berlari menuju lantai tiga di mana ruang ICU berada. Batinnya terus merapalkan doa bahwa semoga semua baik-baik saja.
Di depan pintu kaca ruangan tersebut, Darren berhenti untuk mengatur napas sejenak. Netranya menangkap Dokter Zaen sedang berdiri di samping ranjang dan tengah menatap Steffie. Selain itu, ia juga melihat seorang suster tengah melepas selang oksigen. Hatinya seperti ditampar kuat-kuat saat itu juga melihat adegan yang sangat ditakuti terjadi. Ternyata, Tuhan tidak menghendaki doa Darren terkabul.
Laki-laki itu melesat mendekati adiknya yang kini terlihat begitu damai. Wajah pucat khas orang sakit yang sering ia lihat menghilang seperti tanpa jejak. Namun, itu semua justru membuat tulangnya seolah lolos dari tubuh detik ini juga. Pemandangan di hadapannya menyerap seluruh energi yang tersisa dari dinas malam. Semua yang ada di sekitar terasa bias. Ia seolah sedang bermimpi.
"Dokter yang sabar. Adikmu sudah tenang di sisi Allah." Dokter yang menyatakan kematian mengusap bahu lemah Darren.
Jam menunjuk angka satu dan kabar meninggalnya anak bungsu dari pemilik Rumah Sakit Sehat Prima Jakarta akibat penyakit jantung menyebar luas dengan cepat. Venny yang baru tiba dari lantai lima pun pingsan setelah sepersekian detik melihat wajah anak keduanya untuk terakhir kali sementara Darren sudah seperti mayat hidup.
Foot note
[1] henti napas.
*****
Hulaaa ...
Gimana nih, prolognya? Kurang bumbu apa atau udah pas?
Terima kasih sudah mampir dan Fii harap kalian mau terus ikutin cerita ini, ya. Jangan lupa masukin ke library or reading list kalian, okay? Ajak juga teman-teman kalian buat baca. Hehee, gomawoyo.08.18 P.M; February, 2 2021
Stay Safe,
Fiieureka
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Were A Seed
Romance*Naskah 10 besar Editor Choice GMG Hunting Writers 2021* __________________ Joanne berpikir bahwa kebohongan yang sempat ia lontarkan telah hilang seiring kepergian sahabatnya. Ia juga berpikir bahwa tidak akan pernah berurusan lagi dengan keluarga...