Bab 1 -:- Ketika yang Tak Terduga Menghampiri

4.9K 407 20
                                    

Kita tidak dapat memilih bagaimana akhir sebuah takdir. Namun, kita bisa memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk menemui takdir itu.  

~ Fii

***&***

Darren enggan membuka suara. Ia tidak menanggapi sanak saudara dari Surakarta dan teman-temannya ketika ditanya. Dirinya benar-benar seperti kosong dan perjuangan menjadi dokter selama ini terasa sangat sia-sia.

Laki-laki itu jongkok dan mengepalkan kedua tangan di atasnya. Berharap rasa sesak dan kehilangan yang menyelimuti setiap inchi rongga dadanya berangsur hilang. Namun, ia tahu itu percuma.

Stef, padahal kamu sudah berjanji akan bertahan sampai Kakak jadi dokter jantung ketika kamu meminta Kakak merahasiakan soal sahabatmu itu, batin Darren hingga terasa ingin menjerit. Tatapan mata sendunya tertuju pada gundukan tanah basah yang menutupi jasad Steffie Afsheen binti Harith Ivander Radmilo Widjayadiningrat. Jemarinya meremas mawar serta kenanga yang digunakan untuk taburan makam.Di antara kerumunan orang yang berdiri mengelilingi makam tersebut, Joanne tengah menatap dari samping wajah seorang laki-laki yang tengah menunduk. Meskipun begitu, ia dapat mengenali lekuk wajah itu dengan jelas. Itu adalah sosok yang pernah dilihatnya dalam sebuah foto dan diceritakan Steffie padanya selama ini. Ya, hanya sebatas lewat dua hal itu dirinya mengenal. Ada iba yang mengusik hati, apalagi mengingat alasan yang membuat laki-laki itu menjadi dokter.

Namun, hal itu kini pergi untuk selamanya. Memunculkan satu pertanyaan di benaknya. Apakah ia akan tetap bertahan pada pilihannya meskipun alasan itu kini telah tiada?

Lamunan perempuan berbaju serba hitam dengan kerudung yang menutupi sebagian panjang rambut hitamnya buyar karena langit yang berubah kelabu. Ia juga mencium aroma hujan yang siap mengguyur. Akhirnya, ia memutuskan beranjak dari sana bersama yang lain.

***&***

Kematian Steffie membuat Darren ingin mundur dari profesinya, sedangkan Venny jatuh sakit dan sempat dirawat seminggu karena typus. Untuk mengalihkan rasa kehilangan, Venny memforsir diri bekerja di rumah sakit—kebalikan dari Darren—dan tidak memperhatikan pola makan serta jam istirahat. Harith sudah berulang kali mengingatkan, tetapi percuma. Hanya Harithlah yang paling terlihat tegar meskipun sebenarnya juga memiliki lubang menganga karena kepergian Steffie.

"Ma, aku mau berhenti jadi dokter." Darren menyuarakan keinginannya tepat di hari kematian Steffie yang ke-39 malam ini.

Venny yang 10 menit lalu tiba di rumah pun mendelik tajam. Ia menatap Darren yang duduk di kursi makan dengan masih menyisakan aura mayat hidup. Tangannya yang sedang memegang gelas kaca berisi air minum pun mengerat.

"Kamu jangan ngelantur, Darren!" Venny memperingatkan.

"Ma—"

"Tidak! Pokoknya, kamu tidak bisa seenaknya begitu. Apa kamu tidak sadar? Di luar sana banyak orang yang butuh kita tolong." Venny mencoba member pengertian pada anak pertamanya.

"Ma, aku memutuskan menjadi dokter karena ingin menyembuhkan Steffie. Dan sekarang, Steffie sudah pergi. Aku merasa gagal, Ma, lalu bagaimana aku bisa menolong orang-orang? Aku gagal, Ma," tukas Darren dengan nada putus asa. Ia kembali mengingatkan mamanya tentang alasan tersebut.

Mulut Venny siap membuka ketika sebuah tangan kokoh terangkat ke arahnya. Harith memberi isyarat untuk diam. Ia pun akhirnya menurut dan menghela napas panjang.

"Pasienmu bukan cuma Steffie, Darren!" Mata hitamnya setengah menyorot penuh peringatan.

""Kamu bilang 'gagal'?" Harith menautkan jemari di atas meja dan menatap laki-laki setinggi 185 centimeter itu dengan hangat, tetapi tegas.

Mendengar papanya angkat bicara, ia menoleh ke kiri. Menunggu kata selanjutnya yang akan keluar dari laki-laki berusia 59 tahun itu.

"Nak, gagal itu untuk orang yang sudah pernah memulai sementara kamu ... sama sekali belum memulainya sedetik pun. Mengerti maksud Papa?" Harith menyampaikan pengertian dengan bijak.

Darren melirik ke arah Venny yang juga tengah menatapnya. Otak jeniusnya mencerna dengan mudah maksud ucapan tersebut. Iya, memang benar bahwa ia belum memulai untuk menjadi dokter bedah jantung seperti yang diinginkan mamanya dan diimpikan Steffie. Sebab, ia sama sekali belum mendaftarkan diri untuk melanjutkan pendidikan spesialis tersebut. Bahkan dirinya sekarang masih sebatas bergelar dokter umum dan belum memiliki izin praktik karena sedang di tahap koas.

Venny berdeham karena mengerti atas diamnya Darren. Meskipun yakin Darren sudah tahu hal yang akan disampaikannya, ia tetap berkata, "Darren, pokoknya kamu harus tetap jadi dokter bedah jantung! Di keluarga besar Papa maupun Mama, belum ada yang menyandang gelar itu. Lagi pula, penyakit jantung menduduki peringkat pertama penyebab kematian di Indonesia. Kamu tahu itu."

***&***

Gerimis di minggu pertama Februari menyambut kaki jenjang Joanne saat tiba di pemakaman sahabatnya. Ia jongkok dan meletakkan tiga mawar putih di pusara yang tercipta empat puluh hari yang lalu. Bibir tipisnya bergetar menahan isakan yang mendesak keluar; sementara kedua mata sudah digenangi cairan bening.

"Aku merindukanmu, Steff. Maaf, baru sempat menjengukmu lagi," gumamnya lirih sambil memejamkan mata.

Cairan bening yang menjebol kelenjar lakrimal[2] membanjiri pipi halusnya perlahan. Refleksi senyum pucat Steffie pun muncul. Ia begitu merindukan Steffie. Ia belum terbiasa tanpa Steffie. Ia masih sangat kesepian tanpa Steffie.

"Steff, kamu tahu? Ada percakapan yang paling membekas untukku, yaitu ketika kamu mengatakan bahwa Allah adil mengatur kehidupan sesuai porsi masing-masing. Seperti aku yang ditinggal Daddy dan harus membantu Mama cari uang dan kamu yang punya segalanya, kecuali kesehatan. Yaa, mungkin jika posisi kita ditukar, aku tidak akan bisa bertahan hingga selama kamu. Begitu juga sebaliknya," tuturnya dengan sebelah tangan menepuk-nepuk dada yang terasa makin sesak. Ia kemudian mengusap kedua pipinya dengan kasar.

"Terima kasih karena kamu, aku punya sahabat dan mengerti bahwa rumput tetangga tidak lebih hijau[3]." Joanne terkekeh di sela tangisnya, lalu mendongak hingga tetesan gerimis mengenai pipi. Ia menghirup udara banyak-banyak untuk diembuskan perlahan. Setelah merasa sedikit tenang, ia melanjutkan berkata, "Ah, ya! Awal Januari kemarin, Paman Nicky memintaku untuk kuliah. Dia yang akan membiayai semuanya. Aku jadi ingat keinginan kita untuk kuliah bersama ...."

Joanne tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Seperti ada bongkahan batu besar yang menyumbat kerongkongan dan membekukan pita suaranya. Sungguh, ia sudah tidak sanggup lagi bercerita lebih banyak. Akhirnya, ia memilih memejamkan mata dan menangis.

Joanne menahan napas ketika merasa ada yang aneh secara tiba-tiba. Pendengarannya masih jelas menangkap suara gerimis yang menggelitik bumi, tetapi tubuhnya tidak merasakan tetesannya. Dengan sedikit takut, ia membuka mata dan mendongak.

Apa yang terperangkap di netra membuat Joanne membekap mulut refleks. Pantatnya sukses mendarat di tanah akibat berjengit kaget. Matanya membulat sempurna dan tidak berkedip sesaat. Sosok yang belum pernah dan tidak ingin ditemuinya sedang berdiri di samping kiri dengan membawa payung abu-abu.

Bagi Joanne, pertemuan seperti ini membuat kebohongan yang pernah dilontarkannya terancam diketahui.

Foot note :
[2] kelenjar air mata
[3] Kehidupan orang lain tidak selalu sebaik yang kita pikirkan (Versi Joanne)

*****
09 .45 p.m; February, 3 2021

Regards and Big Thanks,
Fiieureka

If You Were A SeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang