Sesuatu yang Berkilau

87 11 7
                                    

#Jangan_Tidur_Sendirian
Bagian Tiga

***

"Ainun ... kenapa lama kali buka pintunya. Mamak kedinginan."

Seorang wanita dengan gaun putih panjang dan rambut  sebahu terlihat di depan pintu. Wajah pucat wanita itu terlihat jelas saat kilat dari langit menerangi, disusul suara petir yang menggelegar.

"Aaa!!!"

***

"Makanya, gosah sok kali kau nyewa rumah sendiri. Bagus-bagus tinggal sama Mamak di kampung. Bisa beladang kalian di sana. Kek gini, kan, Mamak juga yang susah."

Ainun bersusah payah membuka mata. Perlahan cahaya lampu kamar mulai terlihat dan wanita itu telah berganti pakaian dengan  daster milik Ainun.

"M-mamak. Bukan hantu, kan?" Terbata Ainun melihat ke bawah kaki ibunya. Berharap kaki itu tidak melayang di udara.

"Oi, anak durhaka kau! Kau pikir Mamakmu ini udah mati? Kalian gak pernah datang semenjak pindah. Beberapa hari ini, perasaan Mamak gak enak kali. Jadi, sore tadi Mamak numpang si Lokot sampek pajak sana. Rupanya payah pulak nyari angkot. Pas dapet, malah macet. Pening kali nengok Kota ini lama-lama." Wanita 50 tahunan itu berbicara dengan kecepatan serupa kereta listrik. Di tangannya segelas teh mengepulkan asap. Hangat di indra penciuman Ainun.

"Ya, maaf, lah, Mak. Namanya awak istri. Harus patuh sama suami. Jadi kenapa bisa basah semua baju Mamak? Tapi naek angkot, nya."

"Itu supir mintak diputar giling. Masak Mamak diberhentikan di halte depan situ. Katanya gak berani lewat sini, udah malam kali. Tah apa ditakutkannya!"

Ainun tercenung, teringat kejadian dua hari yang lalu. Seorang pengendara sepeda motor tewas di tempat terlindas truk bermuatan baja. Mana mungkin dia bisa lupa. Kejadian itu tepat di depan kiosnya.

Sore itu, Boy, kucing mereka terus mengeong ke arah jalan. Suasana jalanan ramai membuat Ainun harus menggendong Boy ke dalam rumah. Takut kucing itu tiba-tiba lari ke jalan. Tak lama, saat baru masuk ke dalam kamar, suara benturan keras diikuti riuh rendah teriakan warga sekitar mengejutkan mereka.

"Ada apa itu, Bang?"

"Dek, sini, jaga kios. Abang mau nengok ke depan sana. Barusan ada kereta ditabrak truk."

Ainun bergegas ke luar kamar. Dari balik etalase, ia melihat darah bersimbah di aspal. Benda putih berserakan terlihat di sela-sela kerumunan warga. Itu otaknya!

Ainun bergidik, ngilu melihat pemandangan di depannya. Lututnya melemas.

Sejak hari itu, setiap habis isya, jalanan di depan rumahnya sepi. Pemuda pemudi yang biasa nongkrong di samping kiosnya, tak ada yang berani keluar malam lagi. Namun, Agung selalu mengatakan pada Ainun, bahwa hantu itu cuma halusinasi. Perasaan ketakutan yang besar, membuat mata mudah termanipulasi.

"Aduh, obat rebonding Mamak luntur, lah ini. Gak kau tengok, cantik kan rambut Mamak dipotong segini?" Ibu Ainun mengeringkan rambut dengan handuk di depan cermin.

"Mamak pake baju siapa tadi? Baju putih gitu malam-malam. Kayak kunti aja."

"Oh, itu. Mamak beli monja. Masih cantik Mamak tengok. Murah lagi. Udah tidur aja, yuk. Capek kali Mamak."

Mereka tidur berdampingan. Ainun bersyukur malam ini dia tak tidur sendirian. Entah bagaimana nasib teman-teman yang sempat menyadari keanehan di dalam foto itu. Dia berharap, setan itu tak berkeliaran mengganggu mereka.

***

Agung pulang tepat pukul setengah delapan pagi dan menemukan semangkuk kecil bubur merah putih dan setumpuk bunga warna warni di depan kios. Segera ia mencari keberadaan istrinya. Namun, yang ditemuinya malah sang mertua yang sedang membungkus beberapa plastik bubur merah putih di dapur.
"Eh, Mamak kapan datang?" Agung mencium tangan orang tua itu khidmat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan Tidur SendirianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang