Ketika masih kecil, ia percaya bahwa warna seluruh dunia adalah hijau.
Orang-orang berwarna hijau. Jalanan berada dalam warna rumput yang menyegarkan. Hewan-hewan berwarna hijau pekat, langit berwarna hijau kekuningan — di mana pun ia memandang, ia menemukan spektrum hijau terpampang di seluruh dunia.
Salah satu kenangan awal yang dimilikinya, adalah ia berkunjung ke kebun binatang setempat bersama ibu dan saudara-saudaranya.
Daripada berjalan-jalan untuk melihat ke dalam kandang, ia naik bus wisata bersama ibunya. Bus kemudian memasuki safari buatan. Kantong kertas berisi daging tergantung di sisi kendaraan.
Kursi tepat di sebelah jendela ditempati oleh kakak lelaki tertuanya; sementara paha ibu diambil alih oleh adik perempuannya, baru berusia dua tahun saat itu. Ia ingat bahwa ia mungkin merasa sedikit sedih hari itu, tidak bisa duduk bersama mereka dan menjadi anak tengah.
Segera, bus berhenti di sebuah lapangan.
Hewan-hewan, binatang buas, berhenti bermalas-malasan di ladang dan di bebatuan segera setelah mereka melihat bus dan perlahan berjalan ke sini.
Hewan-hewan yang bersinar dengan warna hijau mulai bersaing untuk mendapatkan makanan. Melihat mereka melompat-lompat mengingatkan bocah itu pada permainan ‘Whack A Mole,’ jadi ia akhirnya terkikik sedikit.
Itu dulu.
Ada satu binatang. Hanya satu. Duduk sendirian di atas batu seperti raja keangkuhan, ketika sinar matahari menyilaukan dan bersinar memantul dari kulitnya.
Senyum anak itu terhapus dalam sekejap. Mengapa?
‘Warna….?’
Tidak seperti hampir setiap bentuk kehidupan lain yang ia lihat, warnanya tidak ‘hijau’.
Mungkin binatang itu merasakan pandangan bocah itu? Mata binatang itu langsung mendarat pada bocah itu.
Bocah itu balas menatap teralis murni, sebelum rasa takut yang tidak dikenal menguasai dirinya.
Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya seperti yang ditentukan oleh instingnya. Napasnya menjadi dangkal dan sulit. Tangannya bergetar, begitu pula seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Tetapi, bahkan ketika perasaan takut mencengkeramnya dengan kuat, teror yang tidak bisa ditandingi oleh anak seusianya, sebuah pertanyaan masih melayang hingga ke puncak pikirannya.
Kenapa binatang itu tidak hijau?
Tidak tidak. Aku pasti telah melakukan kesalahan.
Bocah itu menarik napas besar dan panjang, lalu mengangkat kepalanya untuk melihat keluar lagi.
Kemudian, itu terjadi.
Jendela itu bergetar keras.
Hewan itu seharusnya sangat jauh, namun kapan ia mendekati bus? Dan mengapa dia mengabaikan daging dan hanya menuju pada satu jendela saja?
Binatang itu memamerkan taringnya dan berulang kali mencoba mengunyah kusen jendela tepat di sebelah bocah itu.
Bocah itu tidak bisa mengerti apa yang terjadi di sini dalam sekejap mata. Tidak. Tapi ia masih berhasil menyembunyikan ketakutan.
Aku harus lari.
Kenapa bus masih tidak bergerak?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Coming of Avarice Bahasa Indonesia
Fantasy"Putra Dewa Gula telah kembali." Aku kalah di dunia perjudian. Aku menolak keluargaku dan bahkan menghianati kekasihku. Aku menyiakan-nyiakan hari dalam hidupku. Itulah hidup sampah. Kenyataan memberitahuku: Bahwa aku tidak ada nilainya walau apapun...