“Aku harus mencari uang modal biar aku bisa kembali ke sana.” (Seol)
Seol berkeliaran di depan Stasiun Nonhyeon untuk sementara waktu, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, sebelum akhirnya bergerak.
Ia tampaknya dikelilingi oleh musuh dan rintangan dari semua sisi, tetapi ada satu bukit kecil yang masih bisa ia naiki untuk meminta bantuan.
*
Alarm berbunyi. Itu menandakan jam — setengah lima di pagi hari. Yu Seon-Hwah perlahan membuka matanya, dan seolah-olah istirahat malam telah menyegarkan jiwanya, ia menguap senang dan mengulurkan anggota tubuhnya.
Sinar matahari pagi, berhasil menembus tirai, dengan terang menerangi bingkai foto kecil yang bertengger di atas biro kamar tidur.
Itu adalah foto lama tujuh orang, termasuk Yu Seon-Hwah dan adik perempuannya. Senyum tipis perlahan mekar di bibirnya saat ia menatap foto itu.
Di dalam foto…. ada Seol ahjussi dengan ekspresi kaku dan tegang, yang memiliki hati yang penuh perhatian tiada duanya; istrinya yang selalu memperlakukan Yu Seon-Hwah dan adik perempuannya sebagai anak perempuannya yang sesungguhnya, memastikan semua saudara kandung memiliki semua kebutuhan sehari-hari mereka dengan baik.
Bukan hanya mereka berdua. Tiga bersaudara Seol juga ada di dalamnya; anak laki-laki tertua, Seol Woo-Seok, yang paling mirip ayahnya dengan ekspresi dingin dan kaku, tetapi juga memiliki hati yang benar-benar hangat; gadis yang lahir terakhir, Seol Jin-Heui, dengan kepribadiannya yang terbuka. Lalu….
Dan seorang pemuda yang tampak lembut dengan senyum di tengah-tengah keduanya. Kemudian, di sanalah dia, menyandarkan kepalanya di bahu pria muda ini dan tersenyum begitu cerah.
“…”
Saat dia menatap foto itu, bayangan kegelapan merayap ke kulitnya. Dan ketika ia mengangkat teleponnya untuk melihat pada saat itu, bayangan yang menutupi wajahnya menjadi semakin gelap.
*
“Kau sudah pergi? Seenggaknya minum kopi dulu gitu sebelum pergi?” (Yu Seon-Hwah)
“Aku juga ingin, Kak. Tapi, aku benar-benar harus pergi sekarang. Aku perlu menyerahkan proyek sialan itu sebelum penghujung hari.”
“Baiklah baiklah. Nggak ada yang kelupaan, kan?” (Yu Seon-Hwah)
“Ayolah! Aku bukan anak kecil lagi, lho! Oke, aku pergi dulu! Sampai jumpa!”
Pintu depan tertutup rapat, dan langkah kaki yang bergema di koridor berangsur-angsur menjadi jauh.
Dibiarkan sendirian, wajah Yu Seon-Hwah membawa senyum kecil saat ia selesai sarapan. Mungkin terinfeksi oleh energi dan sikap positif si adik, ia merasa lebih termotivasi. Juga…. selama beberapa hari terakhir, segalanya berjalan begitu baik sehingga ia sering harus berhenti bertanya-tanya apakah ia tidak hidup dalam mimpi atau semacamnya.
Tapi bagaimanapun, ia pasti senang. Jika ia mengabaikan hanya satu hal kecil.
Setelah selesai sarapan, ia mulai mengepak kotak makan siangnya dengan sisa makanan. Tapi kemudian, ia mendengar langkah kaki yang perlahan-lahan mendekat di koridor, dan tidak bisa menahan tawa. Terdengar ketukan terburu-buru dipintu depan. Ia punya firasat sesuatu seperti ini akan terjadi, jadi ia dengan cepat membuka kunci pintu dan membukanya.
“Aku sudah bilang. Bukannya udah kutanya….” (Yu Seon-Hwah)
Yu Seon-Hwah yang hendak memberi omelan pada adiknya, hanya untuk membeku di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Coming of Avarice Bahasa Indonesia
Fantasy"Putra Dewa Gula telah kembali." Aku kalah di dunia perjudian. Aku menolak keluargaku dan bahkan menghianati kekasihku. Aku menyiakan-nyiakan hari dalam hidupku. Itulah hidup sampah. Kenyataan memberitahuku: Bahwa aku tidak ada nilainya walau apapun...