"Anindira! Apa kamu tidak dengar suara bapak!?" sentak seorang lelaki yang kira-kira berusia empat puluhan di koridor sekolah. Seorang gadis yang merasa terpanggil itu lantas berhenti dan menoleh ke belakang.
"Denger lah pak. Kuping saya kan masih lengkap dua, nih bapak lihat aja," ucapnya sambil menunjukkan telinganya kepada lelaki tersebut.
"Kuping kamu penuh sama kotoran. Sini ikut bapak!" perintah lelaki itu sambil menarik telinga kanan gadis berseragam putih abu-abu tersebut. Gadis itu hanya meringis sambil memutar bola matanya malas.
Lelaki tadi membawa gadis itu ke sebuah ruangan dengan tulisan 'Ruang Bimbingan Konseling' di atasnya.
"Duduk," perintahnya. Gadis itu pun menurut sambil masih memegangi telinga kanannya yang dirasa panas.
"Untung aja kuping saya nggak sobek pas bapak tarik," keluhnya
"Sudah-sudah. Sekarang bapak tanya, kenapa kamu telat lagi hari ini?" tanya lelaki itu dengan penekanan pada kata lagi.
"Ck, kesiangan, pak" jawab gadis itu malas,
"Masa tiap pagi kamu selalu kesiangan? Kamu itu anak perempuan bangunnya jam berapa?" tanyanya heran
"Saya bangun jam 3. Tapi abis masak, mandi, nyetrika seragam, saya tidur lagi. Terus bangun lagi jam 7, baru deh saya sarapan terus berangkat pak," jawabnya santai.
"Astaga, Irana Sen...," belum sempat lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, gadis tersebut sudah memotongnya duluan,
"Bapak Ramawan yang terhormat, nama saya cukup Irana Anindira. Nama tengah saya itu kutukan, jadi nggak usah disebut,"
"Irana, kenapa kamu membenci namamu sendiri? Tidak ada nama yang berarti kutukan. Setiap nama itu doa,"
"Itu kan menurut bapak, bukan menurut saya. Udah ah pak, saya mau ke kelas aja. Saya bayar di sini kan buat sekolah, bukan buat ngobrol sama bapak. Permisi, assalamu'alaikum,"
"Waalaikumsalam," gadis bernama Irana itu lantas pergi begitu saja dari ruang BK tersebut.
Meninggalkan lelaki yang tadi dipanggilnya dengan nama bapak Ramawan- penuh keheranan diiringi gelengan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Irana Senja
Teen FictionSemua orang menyukai senja, bukan? Mereka selalu mengagumi bagaimana langit bisa berwarna kuning, jingga hingga keunguan kala malam menjelang. Namun tidak bagi Irana. Ia membencinya.