Sesampai di kelas, Irana hanya mengambil kotak bekalnya yang berisi roti dan juga earphone dari tasnya. Setelah itu, ia langsung ngacir ke taman di samping parkiran. Ia duduk di salah satu bangku panjang, meletakkan kotak bekal beserta air mineral yang masih ia bawa lalu memasangkan earphone pada hp dan dilanjutkan ke kedua telinganya.
Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran di belakangnya. Menenangkan punggunya yang terasa tegang. Ia menutup matanya, menarik napas perlahan. Setelah itu, ia membuka matanya dan memutar lagu Lenka – The Show
I'm just a little bit
Caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go
I can't do it alone
I've tried and I don't know whyIa membiarkan alunan santai lagu tersebut mengisi pendengarannya. Ia menikmatinya sambil kembali memejamkan mata dan mencoba menikmati udara segar dari pepohonan rindang di sekitarnya.
Jika biasanya ia senang mendengarkan lagu rock, punk rock, atau bahkan dubstep yang sering disebut Kanina sebagai lagu ngotot, kali ini ia lebih memilih lagu yang slow agar dirinya juga bisa santai.
Hanya melihat pemandangan senj—ups jangan menyebutnya, nanti Irana marah lagi. Melihat foto laknat seperti itu saja sudah cukup mengahncurkan mood Irana habis-habisan.
Kepalanya masih terasa sedikit pusing dan emosinya masih belum bisa dikendalikannya dengan baik setelah melihat hal tersebut di instagramnya.
Semua kenangan buruk itu kembali berputar-putar dalam kepalanya. Tidak memberikan celah baginya untuk bernapas dengan benar-benar santai. Lagu yang dipilihnya juga idak membantu banyak.
Irana pun mencoba menghirup oksigen dalam-dalam sambil mencoba membayangkan hal indah dalam kepalanya—es krim rasa vanilla misalnya—agar emosinya tak semakin naik.
Ia membiarkan angin yang mengalun di hadapannya menyapu rambut hitam legamnya.
Setelah memutar ulang lagu tersebut sampai tiga kali, Irana baru menemukan ketenangannya.
Alunan musiknya yang ringan benar-benar bisa membantunya meredakan emosi dalam dada. Kini ia tak lagi ingin terbayang hal menjijikkan tersebut.
Maka ia memilih merebahkan dirinya di atas kursi panjang tersebut. Ia memakai kedua tangannya sebagai bantalan kepala, lantas mendongak dan mengamati langit biru yang sedang membentang di atasnya.
Ia menyukai langit biru. Karena menurutnya, itu indah, sederhana, tenang dan—cerah—tidak seperti hidupnya yang dirasanya suram. Ia juga menyukai gumpalan-gumpalan awan yang menghiasinya.
Kayak permen kapas yang dulu sering dibeliin abang, cuma permen kapasnya dulu selalu yang warna pink, ini putih.
Begitu yang selalu ia pikirkan setiap kali menatap gumpalan awan di atas sana.
Sinar matahari tak mengganggunya, karena pepohonan di taman sekolah tersebut sedikit banyak bisa melindungi matanya dari matahari yang menyilaukan mata.
•••
Akhirnya Kanina berhasil menyelesaikan acara makannya dan kini ia berjalan menuju kelasnya dengan hati yang masih gembira.Ia tak sadar jika bel masuk sudah berdering dari 10 menit yang lalu. Maka ketika memasuki kelas…
“Kanina Satriyata, kamu tidak tahu ini sudah jam berapa?” ucap seseorang tiba-tiba kala Kanina hendak memasuki kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Irana Senja
Teen FictionSemua orang menyukai senja, bukan? Mereka selalu mengagumi bagaimana langit bisa berwarna kuning, jingga hingga keunguan kala malam menjelang. Namun tidak bagi Irana. Ia membencinya.