Kelas XI Bahasa
Tertulis demikian sebuah ruang kelas yang dimasuki Irana.“Nggak ada?” tanyanya sambil mengangkat dagu ke arah kursi guru,
“Workshop luar kota. Kita aman sampe istirahat,” sahut salah satu temannya.
Setelahnya, Irana menaruh tasnya di meja dan duduk di samping gadis tadi.“Jangan bilang lo telat lagi deh, Na” ucapnya.
Irana yang baru saja melepas jaketnya lantas menjawab tanpa menoleh,“Yaelah Kan, ini tuh udah jam lapan. And also, you know me sooo weelll. Masih perlu ditanyain gitu?” ucap Irana tanpa menoleh.
Perempuan yang duduk dengan Irana itu hanya menggeleng heran. Sebenarnya benar apa kata Irana tadi, sudah jelas-jelas jam dinding kelas menunjukkan jam delapan dan ia baru masuk kelas padahal bel masuk di sini pukul tujuh tepat. Jadi sudah pasti gadis itu terlambat.
Dan lagi, harusnya Kanina—nama perempuan tadi—juga hapal bahwa dari awal mereka masuk ke sekolah ini, Irana memang selalu terlambat. Lalu kenapa masih ia tanyakan?
Tidak ada obrolan lagi setelahnya. Kanina sibuk dengan timeline instagramnya, dan Irana sibuk memakan roti isi selai coklat yang baru saja ia keluarkan dari kotak bekalnya.
Sambil menikmati roti miliknya, Irana mengambil sepasang earphone dari saku baju sekolahnya.
Dengan santai ia memasangkan ujungnya pada lubang di hpnya, lalu memasangkan sepasang earphone itu di kedua telinganya.
Beberapa gigitan saja sudah cukup untuk ia menghabiskan roti yang dipotong segitiga itu.
Ia lalu mengusapkan tangannya dengan asal ke rok seragam yang ia kenakan untuk membersihkan sedikit remah roti pada tangannya.
(Kalian juga sering kan hwhw)Sambil memandang ke luar jendela, Irana mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama musik yang mengalun di telinganya.
Well maybe I'm the fu**head America
I'm not a part of a redneck agenda
Now everybody do the propaganda
And sing along in the age of paranoiaLagu berjudul American Idiot yang dibawakan oleh sebuah band bergenre punk rock bernama Green Day itu adalah lagu pertama yang ia pilih hari ini. Setiap mendengarkan lagu ini, ia selalu ingin mengganti liriknya menjadi, “don’t wanna be an Indonesian idiot”.
Ia masih menikmati alunan ngotot lagu itu, dengan mata yang menatap langit biru di luar jendela kelasnya,
“Ck, cerah. Semoga nanti sore segerombolan domba abu-abu menuhin langit deh,”
Batinnya sambil menutup mata.Tak lama kemudian, ada yang menepuk-nepuk pundaknya pelan dari belakang. Merasa terganggu, ia pun menoleh tidak suka sambil melepas earphone kanannya.
“Ha?” tanyanya tidak santai. Matanya hanya menatap datar. Khas Irana.
Yang ditatap demikian ketar-ketir hendak mengutarakan maksudnya. Sebenarnya Irana hanya menatapnya datar, tapi datar menurut persepsi Irana dan datar menurut persepsi orang lain itu berbeda.
Karena ketika Irana merasa hanya memberikan tatapan datar, orang lain melihatnya sebagai tatapan tajam. Sebenarnya ini bukan salah Irana.
Hanya saja, matanya memang diciptakan tajam. Jadi, sedatar apapun tatapan yang diberikan Irana, pasti membuat teman-temannya takut.
Toh mereka tahu, Irana itu seperti macan betina atau semacamnya. Entahlah.
“Eh, uhm, anu Na—“ jawab gadis itu gagu,
“Lo lagi belajar jadi Aziz Gagap?” tanya Irana dengan suara yang tidak terhitung pelan. Hal ini lantas mengundang tawa teman-teman satu kelasnya.
Gadis yang ditertawakan satu kelas itu wajahnya memerah karena malu,
“Eh enggak, cuma ini, itu Na, anu—“ lanjut gadis itu masih dengan gagap.
“Ck, iya ini itu anu. Trus si itu anuan sama si anu, si ini dianuin sama yang anu,” ucap Irana yang masih menimbulkan tawa di kelasnya.
“Udah ah kalo nggak ada yang penting, telinga gue masih butuh dimanja sama Green Day,” lanjutnya hendak memasang kembali earphone di telinga kanannya.
Namun belum sampai Irana melakukannya, gadis dengan bet seragam bertuliskan Shania Febriani itu kembali berujar,
“Waktunya bayar kas, Na” akhirnya gadis itu berhasil mengutarakan maksud kedatangannya ke bangku Irana pagi ini dan mengganggu acara bersantainya.
“Yaelah gitu doang pake acara jadi Aziz Gagap wannabe dulu. Nih. Kas gue minggu ini. Sepuluh rebu. Catet.” Titahnya kemudian.
“Eh i-iya Na, makasih,” ucap gadis itu lalu ngacir ke bangkunya setelah menerima selembar uang berwarna ungu dari Irana dan mencatatnya di buku kas tebal yang selalu ia peluk kemana-mana itu.
Shania Febriani adalah bendahara kebanggan kelas XI Bahasa sejak kelas X dulu. Ia sangat pandai mengurusi pengeluaran dan pemasukan kas kelas. Ia juga juara kelas. Pun gadis paling mahir presentasi di kelas itu.
Hanya saja, jika urusannya dengan seorang Irana Anindira, kemampuan bicaranya yang lihai suka hilang tiba-tiba.
Sebenarnya Irana tidak sebegitu kejamnya kepada orang lain asal orang tersebut tidak mencari masalah dengannya. Irana juga tidak pernah menolak membayar kas kelasnya. Setiap ditagih oleh Shania, Irana selalu membayar penuh kasnya untuk satu minggu.
Jadi sebenarnya apa yang membuat Shania ini selalu menjadi gagu dadakan tiap kali berhadapan dengan Irana? Hmm, sepertinya mereka harus membicarakannya suatu hari nanti.
•••
Ffuuiihhh! Akhirnya update juga nih bab 2 nya!
Gimana perasaan kalian setelah baca bab 2 ini? Mulai membayangkan wujud judes Irana belum? Wkwkwk
•
Oiyaa jangan lupa vote dan comment ya!
Biar makin semangat gitu nulisnya. Hwhwhw•
C u guys next chapter!!! xx, hurinaain!
KAMU SEDANG MEMBACA
Irana Senja
Teen FictionSemua orang menyukai senja, bukan? Mereka selalu mengagumi bagaimana langit bisa berwarna kuning, jingga hingga keunguan kala malam menjelang. Namun tidak bagi Irana. Ia membencinya.