Ada rasa perih, kala menanap realita. Ada rasa gundah, kala menyambangi prestis delusif. Lantas, gelebah merobek frasa untuk keluar.
-Ikkika_Chan***
Kali pertama lensanya menemukan presensi sehangat baskara pagi adalah pada awal Januari, dimana sisa-sisa musim dingin masih tertambat penuh pada tiap jalanㅡbahkan sampai menciumi tiap penduduk lokal bumi yang merasakan semilir embus bekunya.
Jemarinya terangkat pada atmosfer yang bergelayut manja di tiap inci epidermis kulit, lantas membiarkan helai kecokelatan itu bertabrakan pada ritmis angin yang berembus kencang.
"Kau penulis?" tanya sang mawar pada karsanya yang biasa, tak terlihat jelas bahwa penulis bisa setampan itu walau sebenarnya dia tidak pernah mendapat koheren sesuai pada dua frasa yang saling bertolak belakang itu. "Aku, penggemarmu."
"Oh?" Ia bahkan tidak menyangka suaranya yang tipis terangkat pelan walau berkonversasi dengan orang asing berada di daftar teratas hal yang paling dihindarinya. "Kau membaca bukuku?"
Sesungguhnya, pemilik mata sekelam malam itu bukanlah seorang sastrawan terkenal. Hanyalah seorang penulis amatir yang senang bercumbu ria pada frasa, bahkan melacurkan tiap diksi pada majas yang tak ada sangkut pautnya sama sekali. Lalu, mengapa ada yang mau menjadi penggemarnya?
"Aku bukan Agatha Christie ataupun J.K. Rowling, manis." Suara afirmatif beserta kekehan remeh yang tadi sempat tertahan diujung lidah keluar seolah tak dipikirkan matang-matang. "Kurasa kau salah orang."
"Mark Lee." Suara manisnya merespon dengan lembut. "Lee Minhyung. Aku yakin aku tidak salah orang." Seolah Lee Minhyung adalah seorang pemenang nobel atau semacamnya, ia tidak berhenti tersenyum kagum padanya.
Bayang-bayang manis seperti tulisan yang dicetak penerbit beserta jumpa penggemar di perilisan pertama bukunya membuat jejaka tergoda, namun ia kembali mengingat betapa payahnya dia.
Iya, dia payah sekali.
Dia tidak bisa membuat pembaca tertarik dengan tulisannya sama sekali, maka jika kau melihat tulisannya di situs-situs sastra daring yang terkenal itu maka nama Mark Lee ada diurutan paling bawah tak peduli betapa ia menerbitkan karya-karya penuh diksi.
Jika dibandingkan dengan senior-senior yang sudah lebih lama berkecimpung, dan tentu saja memiliki banyak pembaca beserta penggemar (bahkan ada yang sampai menerbitkan versi buku serta elektronik karyanya), maka Mark hanyalah puing-puing terkecil yang siap terbang oleh angin lalu terlupakan presensinyaㅡhanya berada dibayang-bayang teman-temannya yang senior, terduduk paling ujung dan yang akan selalu dikenal sebagai 'teman si itu ya?'
"Aku sangat suka karyamu yang berjudul Nestapa." Suara manis itu kembali menelan bulat-bulat jalan pikirannya pada persepsi tentang dirinya sendiri. "Aku sangat menikmati diksimu, kau sangat jago membuat pembaca berputar-putar dalam latar belakang keadaan yang ada dalam cerita."
Dalam sepersekian detik kemudian tawa remeh menggema di tengah perpustakaan yang begitu sunyi, hanya ada beberapa orang yang sedang sibuk membaca sambil mendengarkan lagu atau apalah di ponsel masing-masing yang sudah tersambung dengan headset, melantaskan kerutan tak komprehen pada figur manis laki-laki di sebelahnyaㅡMark sempat melihat gurat tersinggung yang melintas pada air romannya namun laki-laki itu malah mengabaikannya.
"Begini," imbuh Mark pada laki-laki yang ternyata lebih tinggi darinya itu sambil terus tersenyum remeh (lebih tepatnya meremehkan selera buruk orang ini, karena Mark bukanlah pilihan pembaca berselera bagus). "aku tidak tahu mengapa kau menyukai Nestapa, atau tulisanku yang lain, tapi aku tidak pantas kau gemari. Jadi lebih baik simpan tenagamu untuk mengejar grup idola laki-laki yang akan segara konser di Jepang itu."
Setelah berkata demikian, langkahnya keluar gedung semakin bersemangat seolah mengejar kupu-kupu seperti anak gadis umur lima tahun adalah pilihan terbaik daripada mendengarkan celotehan laki-laki aneh berselera sastra rendah soal bagusnya karya milik Mark.
Adalah kata bagus, sastra dan Mark yang disatukan dalam sebuah kalimat menjadi delusif tinggi yang didambakan Mark tapi ia cukup tahu diri bahwa kata bagus tidaklah koheren dengannya.
Penulis payah sepertinya bisa apa sih?
"Lee Minhyung-ssi!"
Otaknya kembali pada presensi yang sama seperti laki-laki aneh berselera sastra buruk yang kini duduk di sebelahnya sambil membaca sesuatu di gawainyaㅡMark tidak ingin berharap itu adalah tulisannyaㅡsambil mendiamkan kamomil yang sudah berevaporasi pada semilir udara di bulan Februari yang menyejukkan.
"Lalu apa yang akan dilakukan Li Zhoulian ketika bertemu Huang Ruiwen di masa depan?" tanyanya tiba-tiba hingga Mark yang sedang asik menyesap teh kamomilnya nyaris terbatuk tidak elit karena tersedak. "Maksudku, kau menggantungkan ceritanya pada bagian ke delapan belas."
Sudah gila. Pikir Mark dalam otaknya yang cerdas itu. Laki-laki di depannya memang sudah gila.
Maksudnya, mengapa masih ada yang mau menunggu cerita buruk rupanya padahal Mark jelas sekali melihat masih banyak cerita yang lebih pantas untuk ditunggu, dan senior-seniornya bahkan sudah menerbitkan cerita daring baru?
Mengapa harus Mark Lee?
Mengapa harus cerita tulisan Mark Lee?
Mengapa?
"Kau unik." Suatu hari laki-laki semanis buah beri itu menyeletuk setelah Mark bertanya padanya kala mereka sedang mengobrol antar pembaca dan penulis di sebuah taman bermain yang sepi pengunjung. "Mungkin memang tulisanmu sangat tidak minat dibaca oleh siapapun."
Dih, aku sudah tahu tidak usah diperjelas.
"Tapi caramu membuatku membayangkan hal sederhana menjadi indah, membuatku terpesona." imbuhnya lagi sambil mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan sewarna buah persik yang merambat dari mandibula sampai ke telinganya dan Mark tidak salah kala sempat menanapnya tanpa permisi. "Diksimu membuatku jatuh cinta."
Suara napas ditarik dalam-dalam membuat Mark semakin menaruh atensinya pada semanis beri di depannya, netra sewarna dengannya itu memandang Mark dengan sorot memuja yang tulus, lantas selengkung kurva manis hingga mata yang lebih muda menyipit tersungging begitu mudah.
Pada saat yang sama, Mark merasakan hatinya menghangat oleh sebuah stetmen bahwa dari sekian puluh ribu orang diluar sana yang selalu melewatkan karyanya dan memilih untuk membaca karya yang lebih seniorㅡmasih ada satu orang yang benar-benar tulus mencintai goretan gagasannya hingga tanpa pikir panjang menyematkan Mark pada frasa 'penulis inspiratif'.
Walaupun agak berlebihan, berharap setidaknya ada satu orang saja yang mencintai karya-karyanya bukan karena dibayang-bayangi senior tapi karena apa yang ada di dalamnyaㅡkarena karyanya itu sendiri, Mark tetap merasa sangat senang.
"Namaku Na Jaemin, penggemar nomor satu Mark Lee. Tolong bimbing aku dalam dunia sastra."
Namanya Na Jaemin, laki-laki yang ngotot menjadi penggemar penulis amatir sepertinya ini bernama Na Jaemin. Terdengar manis, seperti hatinya dan seleranya.
Mark merapalkan dalam hati untuk melanjutkan kembali ceritanya yang sempat terbengkalai demi sederet nama yang baru saja dikenalnya.
Na Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
gelebah pada mawar [markmin]
Fanfiction[Threeshot, sequel up] Namanya gelebah kala Jaemin menodong asa pada Mark yang sudah terkikis linimasa, rindu kelabu dan harum mawar membunuh bulan adalah deskriptifnya yang koheren. ▪markmin ▪fluff|hurt/comfort|Romance/Drama ▪boyslove|malexmale|sho...