nestapa [sequel]

340 46 21
                                    

Tak selamanya mendung itu kelabu.
-Chrisye, Kidung
.
.
.
.

Sukmanya berkeliling alam semesta, membawa raganya ikut serta dalam keterdiaman pasti, namun hatinya tertancap penuh pada presensi bisu serat-serat kain sewarna buah persik di bawahnya.

Ada hening monoton pada temperatur ruangan yang membuatnya tampak melayang dalam pikiran, namun sorot jelaganya melompong, hambar tanpa tujuan.

Respirasinya teritmis oleh detak-detuk jarum jam yang menggantung manis di dinding di hadapannya, lantas gerakan jarinya pada permukaan kain lembut itu bertempo acak.

"Apa yang kau pikirkan?" Sebuah suara melintas di membran timpaninya yang sempat pengang karena terlalu hening, melantaskan kepalanya menoleh cepat lalu kembali pada posisi yang sama dengan gerakan yang sama cepatnya. "Apa yang kau pikirkan?"

Respirasi terembus dengan kasar, lalu korona mata indahnya tertutup. "Aku memikirkanmu," jawabnya di antara sembilu pilu suasana hati. "Aku memikirkan kita."

"Apa yang perlu dipikirkan?" sela laki-laki itu heran sambil membenarkan posisi selimutnya yang melorot karena terlalu banyak bergerak acak. "Kita tidak ada bedanya, Na Jaemin."

"Aku."

"Ya?"

Kepalanya menoleh kembali untuk memakukan pandangan pada gurat tegas Lee Minhyung yang terlihat begitu kuyu karena terlalu memaksakan diri terjaga hingga dini hari, Jaemin terpekur dalam sunyi pada kehangatan embus anemoi yang menghantam epidermis terluar kulitnya kala Minhyung membalas tatapannya.

Lantas pikirannya melayang-layang melewati tubuh, menatap masa lampau, lalu terpaku pada persepsi-persepsiㅡyang menurutnya lebih mirip paradigma biadab memaku otak tiap insan yang tidak teredukasiㅡsoal bagaimana laki-laki itu sebenarnya di mata orang lain.

Ia ingat beberapa orang pernah bercuit dalam sebuah media sosial bahwa Na Jaemin dan presensinya hanyalah sebuah anomali, tidak berada di tempat yang seharusnya dan seharusnya Jaemin tidak ada di ranjang yang sama dengan Lee Minhyung saat ini.

Padahal jelas sekali dua minggu lalu Nona Archels memperingatinya untuk tidak menyentuh dunia maya selama laki-laki itu masih dalam pengobatan, namun Jaemin malah membiarkan fluoxetine-nya teronggok tanpa asa di atas nakas meja sementara ponselnya yang berkedap-kedip oleh lini masa berada di balik bantal.

Sekarang pertanyaan yang kembali bercokol di dalam benaknya adalah keberadaan paradigma yang sama yang mungkin melekat pada sisi kepala Lee Minhyung yang cerdas bukan main.

Apakah laki-laki itu memikirkannya juga?

Apakah menurut Lee Minhyung Jaemin tidak pantas berada disisinya?

Ataukah dia seharusnya secantik gadis-gadis yang menjadi rekan kerja Lee Minhyung?

"Na Jaemin, apa yang kau pikirkan?" Retorika pada nada yang Minhyung keluarkan berhasil membuat otak Jaemin kembali pada tempatnya, ada kerutan geli kala menanap kedipan mata dengan ritmis sepuluh kedipan per detik pada laki-laki yang berbaring di sebelahnya. "Apa kau mulai berpikir kau tidak pantas untukku, lagi?"

Jaemin tersedak air liurnya sendiri setelah Minhyung berhasil memberi tanda tanya verbal pada kalimatnya, yang manakala membuat sisa-sisa air romannya berdiri tegak akibat menyadari Minhyung adalah pembaca pikiran ulung.

Lalu sebuah dehaman memprakarsai lidahnya untuk berkata, "Aku memang tidak pantas untuk penulis hebat seperti Kakak."

Jaemin mendengar inhalasi dan ekshalasi Lee Minhyung terdengar berat dan dalam. Ada gurat-gurat lelah kala tiap gelombangnya mencumbu membran timpani Jaemin yang kini malah tak terbiasa dengan suara-suara sehalus nebula. Lantas matanya kini menelusuri pahatan Tuhan di hadapannya sambil menahan rengutan lucu di bibirnya.

gelebah pada mawar [markmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang