kopi

98 4 5
                                    

Seorang gadis berambut pendek berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak di malam yang tenang sambil mendesis pelan. Berkali-kali dia mengucapkan sumpah serapah dalam hati karena seharian bos di perusahaannya sukses membuat dia naik darah.

Tahan emosi, gumam Devi-nama gadis itu-dalam hati. Lo udah janji nggak akan terpancing emosi lagi.

Satu persatu rintik hujan jatuh membasahi bumi. Devi mendongakkan kepalanya dan menengadahkan telapak tangannya ke langit, kemudian menghela napas. Sial, umpatnya dalam hati. Jarak rumahnya dengan tempat dia berada sekarang cukup jauh, jadi tidak mungkin dia pulang berjalan kaki dalam keadaan seperti saat ini. Dia ingin memesan ojek online lewat aplikasi di ponselnya, namun sayang pulsanya sudah habis. Devi menoleh ke sekeliling, mencari tempat untuk berteduh.

Karena hujan semakin lama semakin deras, Devi memutuskan untuk mampir dan berteduh sejenak di salah satu café di sekitar jalan itu. Menurut dia, mungkin dengan bersantai sejenak sambil menikmati kopi bisa menenangkan pikirannya.

Devi kemudian memesan kopi dan duduk di pojok café, seperti yang biasa dia lakukan dulu saat masih di bangku SMA. Entah kenapa, memori-memori kecil timbul begitu saja ketika dia duduk di kursi itu. Aroma kopinya, suasana di café itu, bahkan tawa dari beberapa pengunjung sukses memutar balik memori dia saat SMA. Devi menyeruput kopinya sambil tersenyum tipis. Jujur, dia rindu akan masa-masa itu. Masa dimana dia baru mengenal apa itu cinta.

***

"SEGINI DOANG?" Devi mengobrak-abrik seluruh isi dari dalam ransel gadis berkacamata dan berambut sebahu sambil mencari sesuatu. Karena tidak kunjung menemukan sesuatu yang ia inginkan, dengan kasar dia menjatuhkan ransel itu. "LO SEMBUNYIIN, YA?"

Gadis berkacamata yang merupakan adik kelasnya buru-buru menggeleng. "Ng-nggak, kak. Sa-saya emang nggak punya uang lagi."

"Bacot lu," maki Wula, salah satu teman Devi yang ikut menindas gadis itu, sambil menendang ransel tersebut. "Mentang-mentang dibanggain guru jadi ngelunjak, ya."

Gadis itu hanya menunduk, ngeri melihat tatapan sangar dari kakak kelasnya. Andai dia memiliki keberanian untuk melawan, pasti dia tidak akan ditindas seperti saat ini.

"Gimana, nih, girls?" Devi melambaikan uang sepuluh ribu milik gadis berkacama itu kepada kedua temannya. "Kita cuma dapat segini. Sayang, ya. Padahal dia orang kaya, lho."

"Kenapa nggak kita ambil jam tangannya?" usul Shanna, teman Devi yang juga ikut menindas gadis tersebut. "Lumayan, kan, kalau dijual. Kalau dia ngelapor, nanti dia yang kena imbasnya."

"Ja-jangan, kak," mohon gadis itu sambil memegang erat jam tangan yang membingkai di pergelangan tangannya. Matanya terlihat berkaca-kaca. "I-ini jam tangan berharga yang saya punya."

"Berharga karena harganya mahal sekali, ya?" tebak Devi sambil tersenyum sinis. "Girls, paksa dia kasih jam tangan itu."

Kedua temannya dengan sigap menahan kedua lengan gadis berkacamata itu, kemudian mengambil jam tangan yang ia pakai dengan paksa. Tapi, gadis itu rupanya benar-benar tidak mau jam tangannya diambil begitu saja. Dia menarik kembali jam tangan miliknya dan berusaha melepaskan diri. Karena mereka saling berebut jam tangan itu, tanpa sadar mereka sampai jatuh dan berguling-guling di atas jalanan beraspal. Devi yang tidak ikut dalam rebutan jam tangan tersebut hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, terkekeh pelan karena bisa menonton pertunjukan gratis.

"APA-APAAN INI?!" Baru saja Devi menikmati pertunjukan kecil-kecilan di tengah jalan, tiba-tiba pengganggu datang merusak suasana. Bu Siti-guru BK paling cerewet sepanjang masa-menghampiri mereka sambil memasang wajah panik sekaligus mengerikan. Beliau menatap mereka satu persatu, kemudian tatapannya jatuh kepada Devi. "PASTI KERJAAN KAMU, YA?"

random storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang