terlambat

8 2 0
                                    

Matahari bersinar sangat terik ketika aku berdiri di depan sebuah bangunan tua yang telah menjadi tempatku untuk menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Meskipun terlihat kuno dan tak terawat, bangunan itu sudah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa yang telah menimpaku ketika aku masih remaja SMA yang lugu dan labil.

Aku mengambil ponsel, lalu membaca deretan chat dari teman-teman alumni SMA yang baru saja mengabari bahwa mereka sebentar lagi sampai di sekolah. Beberapa hari yang lalu, salah satu temanku tiba-tiba membuat grup khusus alumni SMAK Bunga Matahari angkatan 2011 dan berencana untuk mengadakan reuni yang dilaksanakan hari ini. Sejujurnya, aku tidak ingin ikut reuni karena aku sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal. Tapi, jika sampai diiming-iming akan ditraktir mie ayam di warung dekat sekolah bagi siapapun yang ikut reuni, siapa yang akan menolak?

Waktu menunjukkan pukul 11:14. Masih ada banyak waktu bagiku untuk menelusuri ruangan demi ruangan dari bangunan yang telah menjadi rumah keduaku ini. Dengan langkah pelan, aku masuk ke bagian dalam sekolah sembari melirik ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap bagian sekolah ini dengan baik. Semuanya masih sama. Loker-loker yang berjejer di sepanjang lorong kelas dan rak-rak untuk menaruh ransel dan sepatu di bagian depan perpustakaan tetap tersedia seperti dulu. Hanya saja, cat di dinding di bagian lorong sudah mulai memudar karena sudah tak terawat.

Langkahku terhenti di depan kelas XII IPA 3. Entah kenapa, jantungku berdegup sangat keras begitu melewati kelas itu. Aku diam-diam masuk ke dalam kelas itu dan memperhatikan sekeliling. Sesuai yang kuduga, ruangan kelas itu sama persis dengan kelas yang kupakai saat aku masih duduk di bangku kelas 12. Meja guru yang berisi tumpukan kertas dan buku pelajaran, bangku-bangku murid yang terlihat usang dan penuh coret-coretan, dinding yang terlihat kotor, dan masih banyak lagi. Rasanya aku ingin kembali menjadi murid SMA dan menikmati hidup tanpa perlu memikirkan pajak yang harus dibayar setiap bulan.

Tanpa kusadari, kepingan-kepingan memori kembali menyelusup ke dalam pikiranku. Senyumku langsung memudar. Seberapa keras aku berusaha melupakannya, memori akan kejadian 'itu' tetap saja terlintas dalam benakku, menghantuiku bahkan setelah aku lulus sekalipun.

Aku berusaha menelan salivaku. Rasa sesak memenuhi dada. Di saat murid lain sibuk belajar untuk persiapan UN karena sudah memasuki semester dua, aku malah mengkhianati sahabatku satu-satunya.

Aku berselingkuh dengan pacar sahabatku, Karina.

Awalnya aku tidak berniat sama sekali meruntuhkan kepercayaan Karina. Tapi semakin lama, aku semakin terlena akan ketampanan cowok itu yang sayangnya telah menjadi milik sahabatku. Saat itu, aku terlalu mementingkan egoku dan berbuat sesuka hatiku. Asal keinginanku tercapai, pasti semuanya akan beres.

Ternyata aku salah.

"Kenapa lo setega ini sama gue?!" Aku masih mengingat jelas bagaimana ekspresi Karina begitu gadis itu memergokiku sedang berpelukan dengan pacarnya. "Kita 'kan sahabat!"

Coba tebak apa yang kulakukan saat itu? Aku hanya bergeming, tidak menanggapi apa-apa karena terlalu panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Jelas aku panik, karena orang yang berdiri di hadapanku saat itu adalah sahabatku sendiri, sosok yang bersedia menemaniku semenjak aku duduk di bangku sekolah ini dan menjadi tempat untukku bersandar setiap aku dirundung masalah.

Baru saja aku ingin meminta maaf, tiba-tiba cowok yang berdiri di sampingku maju mendekati Karina. "Maaf, Rin, tapi gue nggak pernah suka sama lo. Mawar, sahabat lo, jauh lebih cantik buat gue pacari dibanding lo."

Saat itu, bola mataku nyaris mencelat dari rongganya. Kenapa dia mengatakan hal itu kepada Karina? Hati Karina pasti semakin terluka setelah mendengar pernyataan dari cowok itu.

Karina terkesiap, tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya mengatup. Dalam hitungan sepersekian detik dia terpaku, memandangku dan cowok itu bergantian, lalu mendengus pelan. "Semoga berbahagia," itulah ucapan terakhirnya padaku sebelum pergi meninggalkan kami dan tidak pernah kembali.

"Mawar?"

Lamunanku buyar begitu seseorang memanggil namaku. Sejujurnya, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap seseorang yang barusan memanggilku adalah Karina. Aku rindu akan keberadaannya. Aku rindu akan pelukan hangat dan kalimat-kalimat motivasinya yang selalu berhasil membuatku merasa lebih baik saat hari-hariku dirundung awan gelap. Aku rindu akan segala perbuatannya yang sederhana namun sukses membuat hatiku hangat.

Aku rindu dengan sahabatku yang dulu.

"Mawar, 'kan?" Lagi-lagi orang itu, yang pastinya bukan Karina, memanggil namaku. "Ini Hani. Lo inget gue?"

Aku berusaha menyembunyikan linangan air mata yang berkumpul di pelupuk mata dan memaksakan senyumku. "Inget, dong. Masa gue lupa sama anak yang otaknya encer kayak lo," candaku.

Kemudian, pembicaraan kami mengalir dari satu topik ke topik lain, meninggalkan kisah dari sudut pandang kami masing-masing saat kami masih SMA. Tak terasa, teman-teman alumni mulai berdatangan dan pembicaraan kami akan masa lalu semakin larut. Terkadang kami juga saling mengejek karena teringat kejadian konyol yang dilakukan teman kami saat itu.

Tapi, hingga acara dimulai, Karina tidak kunjung datang. Padahal sebagian besar teman alumni rela meluangkan waktunya untuk mengikuti reuni ini meskipun sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sama seperti aku. Tapi, hanya Karina yang tidak datang tanpa memberi kabar apa-apa.

Aku memutuskan untuk bertanya kepada Hani. "Karina di mana, ya?" tanyaku.

"Karina?" Hani hanya menautkan kedua alisnya begitu aku bertanya apakah dia tahu keberadaan Karina. "Lo belum tahu, Mawar?"

Kali ini, aku yang menautkan kedua alis. "Tahu apaan?" tanyaku heran.

Hani terlihat ragu, merasa bimbang selama beberapa saat. "Sejak kecil, dia memiliki riwayat penyakit jantung. Itulah kenapa dia paling lemah di angkatan kita dan sering kelelahan setiap berolahraga. Dan dua bulan yang lalu, sepertinya dia melakukan aktivitas yang membuat dia sangat letih sehingga berpengaruh pada jantungnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk pindah ke Australia bersama keluarganya dan menjalankan pengobatan di sana. Dia tidak akan kembali ke Indonesia, Mawar, karena itu dia tidak datang ke reuni ini."

Aku tak bisa berkata apa-apa selain tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Semuanya sudah terlambat. Seandainya saat itu aku lebih memperhatikan kesehatan Karina dan tidak mengkhianati perasaan sahabatku, pasti saat ini aku masih berdiri di sampingnya, menemaninya berobat dan berjuang melawan penyakitnya.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Waktu tidak bisa diulang kembali. Aku hanya bisa bergeming, menatap kaca jendela kelas yang telah menjadi saksi bisu perseteruan antara aku dengan sahabatku sekaligus pertemuan terakhir kami sebelum berpisah untuk selamanya.

Terlambat. Aku terlambat dalam mengambil langkah. Rasanya aku sudah tak berdaya menahan perih luka yang masih tersisa dan penyesalan yang mendalam di dalam lubuk hatiku. Aku tidak mungkin nekat menyusulnya ke Australia dan meminta maaf begitu saja. Rasanya juga aneh jika aku meminta maaf lewat chat atau telepon, apalagi kondisi Karina saat ini sedang tidak baik.

Aku menghela napas. Di saat yang lain sedang berceloteh ria karena teringat akan kejadian-kejadian konyol yang mereka lakukan saat masih SMA, aku malah asyik melamun sambil menatap pemandangan di luar jendela kelas.

Maaf, Karina. Seandainya aku tidak egois saat itu, mungkin kita masih bersama seperti dulu. Mungkin setiap minggu kita akan bertemu dan mengeluarkan unek-unek mengenai pekerjaan di kantor yang terus menumpuk dan perlakuan atasan yang semena-mena. Mungkin kita juga akan sibuk membicarakan kehidupan di masa yang akan datang yang menurutku masih abu-abu dan belum terbayang di depan mata.

Tapi, seperti yang kukatakan sebelumnya, semuanya sudah terlambat. Aku hanya bisa berdoa semoga kamu baik-baik saja di Australia dan menjalani hari-harimu dengan bahagia. Buatku, itu saja sudah lebih dari cukup.

25/10/2020

random storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang