Note: pasang video di atas sebagai latar lagunya, ya.
Namanya Alula Dermansyah Fitri, gadis berambut panjang sepinggang dan memiliki senyum manis. Keberadaannya selalu mengundang canda dan tawa bagi siapapun di sekitarnya. Setiap melihat dia tersenyum, entah kenapa diri ini juga ikut tersenyum. Berada di sampingnya saja sudah membuatku bahagia.
Dia bukan tipe memilih-milih teman. Bahkan, dia ramah padaku, cowok yang dijuluki sebagai murid paling dingin di sekolah. Disaat murid lain takut dekat denganku, dengan santainya dia malah menghampiriku dan berbicara selayaknya dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Dia tidak pernah membeda-bedakan orang lain. Semua dia anggap sebagai teman.
Aku selalu ingat ketika ada tugas kelompok di kelas dan satu kelompok berisi dua orang. Tanpa segan-segan, dia menghampiri mejaku dan berkata, "Lo bareng gue, ya, Panca." Orang yang saat itu menyaksikan kami pasti menganggap Alula sudah gila atau sedang bercanda. Tapi, Alula tidak gila. Dia juga tidak sedang bercanda. Saat aku masih syok mendengar ajakan Alula, dia langsung meraih tanganku dan mengangkat tanganku tinggi-tinggi, memberitahu guru yang mengajar bahwa aku sekelompok dengan dia. Bisa kulihat dari wajahnya bahwa dia tersenyum padaku. Senyumnya manis sekali. Bahkan aku rela membayar berapapun hanya supaya bisa melihat senyumnya setiap saat.
Aku bukan cowok dingin yang sering kalian temukan di dunia Wattpad. Aku tidak menganggap diriku tampan. Hidupku juga datar, tidak ada yang menarik sama sekali. Tidak ada sahabat yang satu kelas denganku. Dan selama aku di kelas, hanya Alula yang mau menemaniku. Dia yang setia menghampiriku dan mengajakku mengobrol supaya aku tidak sendirian. Dia yang hadir memberi warna disaat hidupku berwarna abu-abu.
Tak terasa, hari Valentine sebentar lagi tiba. Hari dimana sepasang kekasih saling memberi cokelat dan bunga sebagai pernyataan cinta. Tentu saja aku tidak mau melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku mau menyatakan perasaanku padanya. Aku tidak berharap perasaanku dibalas, aku hanya ingin dia tahu perasaanku. Itu saja.
Seumur-umur, aku tidak pernah seniat ini dalam memberi sesuatu ke seseorang, apalagi seseorang yang kuanggap spesial. Tidak tanggung-tanggung aku membeli sebuket bunga dan cokelat berbentuk hati. Walau uang jajanku langsung habis hanya untuk membeli dua benda itu, menurutku tidak masalah selama itu dapat menyenangkan hati dia. Jujur, aku juga tidak pernah menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Karena itu, berkali-kali aku mondar-mandir tidak jelas supaya menetralkan detak jantungku.
Saat aku hendak memanggil Alula untuk menyuruhnya menemuiku di lapangan saat pulang sekolah, gadis itu tiba-tiba berlari kecil meninggalkan kelas sambil membawa sebuah kotak di tangannya. Dia terlihat terburu-buru, tapi entah karena apa. Aku mengikuti dia diam-diam sampai ke halaman belakang sekolah. Ternyata tidak hanya ada aku dan Alula di sana, tapi juga seorang cowok tampan yang kuketahui bernama Rano sedang berdiri membelakangi dinding. Sering kudengar gosip mengenai hubungan mereka berdua, tapi aku berusaha tidak percaya dengan gosip itu. Aku memang egois.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena jarak tempat aku bersembunyi dengan mereka cukup jauh. Namun, yang pasti, aku bisa melihat sorot matanya yang memancar bahagia saat dia memberikan kotak itu pada Rano. Sorot mata yang tidak pernah dia perlihatkan pada cowok manapun, bahkan termasuk aku. Dari sini semua jelas, selama ini pandangannya tidak pernah tertuju padaku, tapi pada Rano. Selama ini hatinya hanya untuk Rano, bukan untuk cowok dingin sepertiku. Aku memandangi buket bunga dan cokelat yang kupegang. Sia-sia aku menghabiskan uang jajanku demi membeli dua benda ini. Sia-sia aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya. Karena, semuanya sudah jelas. Hatinya tidak pernah ditujukan untukku, tapi untuk orang lain.
Sambil menahan perih yang tiba-tiba menjalar dalam diriku ketika melihat dia memberikan kotak itu pada Rano, tiba-tiba dalam sekejap raut wajah Alula berubah. Tidak ada sorot mata kebahagiaan yang memancar dalam diri Alula. Matanya berkaca-kaca. Meskipun aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dari jauh, dapat kulihat dengan jelas bahwa dia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya sambil mengangguk pelan. Dia tersenyum kecut, lalu berjalan pergi meninggalkan Rano. Kukira cowok itu akan mengejar Alula, tapi ternyata dugaanku salah. Rano malah melemparkan kotak yang diberikan Alula ke tong sampah, lalu pergi meninggalkan tempat seolah tidak terjadi apa-apa.
Brengsek.
Aku beranjak dari tempat bersembunyi dan buru-buru memungut kotak itu dari tong sampah. Sebetulnya tidak baik membuka hadiah orang lain tanpa izin, tapi aku penasaran dengan isi kotak itu. Ternyata isinya beberapa buah cokelat yang sepertinya buatan sendiri disertai kertas kecil bertulisan 'Dimakan, ya' dengan huruf sambung. Kenapa Rano tega membuang cokelat yang sudah Alula buat susah payah?
Mungkin orang-orang akan menganggapku gila dengan apa yang kulakukan saat itu. Dengan nekat aku menghampiri Rano dan meninju rahang pipinya keras hingga dia terjungkal. Kupaksa dia menerima kotak yang Alula berikan, walau aku harus ditonjok beberapa kali dulu hingga akhirnya dia menerima kotak itu meskipun dengan terpaksa. Tidak apa aku babak belur, asal kotak itu diterima Rano. Aku tidak rela membiarkan orang yang kusukai dicampakkan oleh cowok seperti dia.
Dan, entah angin dari mana, aku juga nekat menghampiri Alula. Dia berada di balkon sekolah, memandangi jalanan yang sepi sambil menghapus air matanya yang membasahi pipi. Tatapannya sendu, tidak cerah seperti Alula yang biasa kukenal. Setelah beberapa menit dilema akan menghampiri Alula atau tidak, aku memutuskan untuk menghampiri dia.
"Alula?" panggilku dengan suara sengaja dipelankan, takut mengejutkan gadis yang berada di hadapanku sekarang.
Dia menolehkan kepalanya sambil tersenyum paksa. Bisa dilihat dengan jelas bahwa matanya sembab sehabis menangis, tapi dia masih berusaha tersenyum. "Panca? Kok di sini?"
Tanpa diberi aba-aba, aku langsung memeluk dia. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang. Aku hanya ingin menghiburnya. Aku hanya ingin menjadi tempat untuk dia bersandar ketika hidup tidak berpihak padanya. Aku hanya ingin dia tersenyum lagi.
Dia cukup terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba memeluknya tanpa izin. Namun, perlahan-lahan dia membalas pelukanku. Kami berpelukan cukup lama, saling melupakan perasaan masing-masing untuk sesaat. Seolah tidak ada yang ingin menghadapi kenyaatan pahit di dunia nyata. Dia kembali menangis, membiarkan air mata membasahi pipinya.
"Cowok memang sebrengsek itu, ya?" tanya Alula disela tangisnya. "Sengaja deketin cewek hanya untuk dimainin perasaannya. Brengsek banget, ya?"
Aku diam, tidak tahu mesti menjawab apa. "Nggak semuanya, kok," jawabku setelah beberapa saat berpikir, "masih banyak yang lebih baik, tapi lo nggak sadar aja." Kayak gue misalnya, gumamku dalam hati karena tidak mungkin mengucapkan hal itu pada Alula.
Alula melepaskan pelukanku. Dia tersenyum sambil mengusap air matanya. "Makasih, ya, Pan."
Aku mengangguk sambil tersenyum kaku. Entah kesurupan atau bagaimana, aku tiba-tiba menyatakan perasaanku pada Alula, tepat setelah tangisannya berhenti. "Alula, gue suka lo," ungkapku sambil berusaha menahan rasa gugup yang membuncah.
Alula tercenung selama beberapa saat. Dia sangat terkejut dengan pengakuanku yang terlalu mendadak.
"I'd never let anyone hurt you," ungkapku lagi, "so, could I be the one you talk about in all your stories?"
Alula terdiam. "Sori, Pan. Gue mau, tapi..," Alula memberi jeda, "gue sayang Rano, Pan. Gue tahu gue bodoh, tapi hati gue tetap untuk Rano."
Aku tidak tahu mesti membalas apa. Ternyata begini rasanya ditolak oleh seorang gadis, apalagi gadis yang kusukai sejak lama. Sakit, tapi tidak berdarah, seperti orang awam biasa katakan. Aku berusaha untuk tetap tersenyum. "Nggak apa-apa, kok. Gue juga nggak jelas tiba-tiba nyatain perasaan saat situasinya nggak tepat," kataku sambil tertawa supaya mencairkan suasana. Untungnya dia ikut tertawa, walau tawanya terasa canggung.
"Ya udah, gue duluan, ya, Pan," kata Alula sambil tersenyum, "lo bisa dapat cewek yang lebih baik dari gue, kok."
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum paksa. Dia berlenggang pergi, meninggalkanku sendiri di balkon sekolah. Senyum yang kupaksakan sedari tadi kini pudar. Aku tidak mengerti dengan pola pikir cewek. Sudah jelas cowok yang dia sukai hanya mempermainkan dia, tapi kenapa dia masih setia menunggu? Kenapa dia masih menyukai Rano? Aku tersenyum miris. Bisakah aku menggantikan posisi Rano dalam hidup Alula?
Can I be him?
KAMU SEDANG MEMBACA
random stories
Short StoryJust randomly sharing stories that pop up in my brain.