Alunan lagu That's Christmas to Me berkumandang dari balik speaker sekolah, memecah keheningan yang sempat tercipta di sepanjang lorong kelas. Murid-murid tengah sibuk menempel hiasan-hiasan Natal di depan kelas masing-masing sembari saling bertukar cerita. Tidak ada yang terlihat santai, semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.
Beberapa hari yang lalu, OSIS mengadakan lomba menghias kelas dalam rangka perayaan hari Natal untuk memeriahkan suasana. Setiap kelas diminta untuk saling bekerja sama menghias kelas masing-masing sekreatif mungkin. Kelas yang paling bagus dan meriah akan dihadiahi 3 box piza berukuran large untuk dimakan sekelas. Siapa yang tidak tergiur jika hadiahnya adalah piza?
"Darrel, tempel hiasan bintang itu di depan pintu kelas, dong," pinta ketua kelas XI MIPA 1, Karin, sambil menunjuk pintu kelas, "lo 'kan paling tinggi di angkatan kita."
Darrel yang sedang sibuk melipat-lipat origami bersama teman-temannya di dalam kelas hanya menghela napas. Dia beranjak dari tempatnya dan berdiri di bagian depan pintu kelas, kemudian menempelnya secara asal-asalan.
"Kok gitu, sih, nempelnya?" Karin terkekeh pelan, kemudian memegang lengan Darrel dan menggerakkan lengan cowok itu hingga hiasan bintang yang dia tempel tidak miring seperti sebelumnya. "Yang benar kayak gini, dong."
Darrel berdecak kesal. "Kalau gitu, lo aja yang tempel."
"Ih, gue nggak setinggi lo," kata Karin sambil mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal.
Darrel tidak menghiraukan perkataan Karin. Dia tetap menempel hiasan lain di depan pintu sesuka hati, sukses membuat Karin benar-benar kesal.
"Ih, bukan di situ!"
Dari jauh, teman-teman Darrel asyik memperhatikan perlakuan Darrel yang tetap dingin kepada Sang Ketua Kelas, Karin. Mereka terkekeh pelan karena cowok itu sedari tadi tidak mendengarkan ocehan Karin. Sejak awal kelas 11, Darrel dan Karin sering dicomblangkan karena mereka terlihat serasi sebagai pasangan. Darrel yang berperawakan tinggi dan berparas tampan memang cocok disandingkan dengan Karin yang cantik dan populer di kalangan teman-temannya.
"Gue bingung sama Darrel," kata Sean sembari menggunting origami yang sudah diberi pola sebelumnya, "padahal Karin naksir berat sama Darrel, tapi bocah itu masih bersikap dingin. Kenapa, ya?"
"Kalau gue jadi Darrel, udah gue sikat, sih," timpal Ghio yang saat ini duduk di hadapan Sean.
"Iya, 'kan? Darrel harusnya nggak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kapan lagi dia bisa dapat cewek cantik dan populer kayak Karin?" Sean menggeleng pelan.
Ghio tiba-tiba terdiam selama beberapa saat. "Atau jangan-jangan ... ada cewek yang dia sukai?" tebaknya.
Sean mengerutkan kening. "Lo ngaco, ya? Kalau cewek secantik Karin aja Darrel tolak, berarti cewek seperti apa yang dia taksir?"
"Iya juga, sih. Atau mungkin dia homo?"
"Heh, lo kali yang homo!"
"Diem lo."
Tawa mereka berderai seiring candaan satu sama lain terlontar. Sedangkan tanpa mereka sadari, Ayla sedari tadi menguping pembicaraan mereka dari pojok kelas.
Ayla hanya menghela napas. Sebenarnya, dia juga mempertanyakan hal yang sama sejak dulu terkait sikap Darrel pada Karin. Hingga saat ini, gadis itu tidak mengerti kenapa Darrel tidak pernah tertarik dengan gadis secantik Karin. Ayla tidak tahu apakah baginya ini adalah sebuah kemujuran atau malapetaka. Jika Karin ditolak mentah-mentah oleh Darrel, dirinya juga jelas akan ditolak. Dari penampilan luar, dia kalah telak.
Ayla adalah gadis pendiam yang suka menghabiskan waktunya dengan membaca komik di pojok kelas. Dia sudah terbiasa menyendiri dan menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya karena jarang berbicara. Sebenarnya gadis itu juga ingin membangun relasi dengan teman-temannya, namun apa daya keberaniannya tidak cukup besar untuk berkomunikasi dengan baik. Alhasil, dia dikucilkan dalam kurun waktu yang cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
random stories
Short StoryJust randomly sharing stories that pop up in my brain.