sempurna

39 0 0
                                    

Makian dan ejekan sudah menjadi makanan sehari-hariku. Cibiran dan tatapan meremehkan juga sudah biasa kuterima setiap saat. Setiap aku lewat di depan mereka, mereka menatapku tajam seolah merasa terganggu dengan kehadiranku.

Aku hanya siswi biasa seperti murid lainnya. Dulu, saat SD, tidak ada yang meremehkanku. Bahkan, tidak sedikit yang ingin berteman denganku. Namun, entah kenapa, semenjak aku memasuki jenjang SMP, aku tidak lagi dianggap sebagai 'siswi biasa' oleh teman-temanku.

BRUK!

"WOI, KALAU JALAN PAKE MATA!" bentak seseorang yang barusan kutubruk tanpa sengaja. Seharusnya aku tidak melamun saat berjalan melewati lorong kelas dalam keadaan ramai seperti sekarang.

"So-sori," kataku tanpa berani menatap mata orang yang sedang berbicara padaku. Tanpa perlu melihat, aku sudah jelas tahu siapa yang berurusan denganku sekarang.

Cowok yang berada di hadapanku sekarang menatapku tajam. "LO GEMBROT, SIH. MAKANYA ORANG-ORANG JADI KETABRAK GARA-GARA LO."

Lagi-lagi ucapan itu.

Aku hanya diam, tidak merespon sama sekali. Dia tidak salah. Sejak kecil, kelebihan berat badan sudah menjadi masalahku yang cukup serius. Padahal aku sudah mengurangi porsi makan sebisa mungkin, tapi tetap saja tidak berhasil. Aku pernah mencoba dietvm dan berolahraga segiat mungkin, namun ujung-ujungnya tidak kuat karena ternyata aku menderita penyakit maag dan asma. Lengkap sekali, ya? Awalnya teman-temanku menerimaku apa adanya, namun semenjak kami memasuki masa remaja, mereka sepertinya sudah mulai menilai penampilan orang lain dan bertindak semaunya. Dan inilah aku sekarang. Dihina dan diremehkan karena aku gemuk.

"Heh, jangan kayak gitu."

Aku dan cowok yang berada di hadapanku sekarang menoleh ke arah sumber suara. Jujur, aku cukup terkejut dengan orang yang berbicara barusan. Pertama kalinya ada yang membelaku dan tidak ikut mengejek seperti cowok di hadapanku ini.

"Omongan lo barusan bisa melukai hati dia, Dodo," nasihat orang itu sambil menepuk pundak cowok di hadapanku, "dia adik kelas kita. Jadi kakak kelas lebih sopan, dong."

"Lo kenapa, sih, Rendy?" Dodo menatap orang bernama Rendy kesal. "Biasanya lo nggak peduli kalau gue ngamuk. Kok situ sewot?"

"Minta maaf sama dia," kata Rendy tajam tanpa mengindahkan pertanyaan Dodo barusan.

Aku yang sedari tadi hanya diam karena bingung diam-diam melirik kakak kelas yang bernama Rendy itu. Jujur, aku tertegun ternyata masih ada cowok sebaik Rendy.

"Minta maaf!" bentak Rendy karena Dodo tidak kunjung meminta maaf padaku.

Dodo berdecak kesal, kemudian menatapku malas. "Sori." Setelah mengucapkan satu kata itu, dia berlenggang pergi tanpa menghiraukan panggilan Rendy yang menyuruhnya kembali dan meminta maaf dengan benar padaku.

Aku tidak menyangka ada orang yang berani berbuat seperti itu pada Dodo, pentolan sekolah yang ditakuti murid-murid di sekolah ini. Jangankan murid, guru saja sudah menyerah berurusan dengan dia.

Karena melamun, tanpa kusadari Rendy menatapku dari jarak dekat dengan khawatir. "Lo nggak apa-apa?" tanya Rendy.

Aku yang baru sadar betapa tipisnya jarak wajahku dengan dia langsung salah tingkah. "Ng-nggak apa-apa, Kak. Makasih, ya," jawabku sambil berusaha tersenyum manis, walau lemak pipiku cukup kelihatan ketika aku tersenyum.

Rendy mengangguk. "Oke, lain kali hati-hati." Tanpa ada percakapan lagi setelahnya, dia pergi meninggalkanku sendiri.

Mungkin orang akan menganggapku berlebihan sekarang, tapi seumur-umur tidak pernah ada cowok yang perhatian padaku, kecuali ayahku tentunya. Namun, semenjak ayahku pergi untuk selamanya saat aku masih berumur 8 tahun, tidak ada lagi cowok yang peduli padaku.

random storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang