Open Gate

2.9K 273 15
                                    

Sebagai seorang putri, berlari bukanlah hal yang lumrah. Aturan membiasakannya untuk berjalan dengan anggun, bicara dengan sopan, dan berwibawa. Namun jelas, hari ini aturan itu harus dia patahkan. Tidak ada lagi pilihan.

Yang bisa gadis itu syukuri untuk saat ini hanyalah bagian bahwa setiap bangsawan diharuskan mengikuti pelatihan militer khusus. Dia mengerti apa kegunaan latihan yang menyusahkan itu sekarang.

Hutan yang gundul menjadi pijakan kakinya, tapak demi tapak dia buat dengan cepat, berusaha berlari secepat yang dia bisa sementara bunyi kuda diikuti bunyi tapak besi yang berat ikut berlari. Tentu saja, dia tidak mungkin kabur dengan mudah. Kakaknya pasti ingin jaminan atas keamanan, dan itu berarti paling tidak ada yang bisa membawanya kembali pulang ke Kastil Verfassen, hidup atau dengan hanya bersisa kepala.

Tapi dia tidak ingin mati. Setidaknya tidak saat ini. Setidaknya bukan dia yang lebih dulu terjun ke dunia bawah.

“Putri Serena! Kau tidak akan bisa kabur ke mana-mana!”

Tanpa diberitahu pun, sebenarnya dia tahu. Semua kelelahan yang dia ambil ini lebih mengarah pada bunuh diri secara perlahan. Tak peduli seberapa kerasnya dia berjuang, semua kelihatan sia-sia.

Kaki terasa hampir lepas, membuat gadis itu berhenti. Dengan tubuh yang sedikit bergetar, tangannya mengepal kuat, tanah yang gundul seketika ditumbuhi tiang-tiang es raksasa, membuat para prajurit mundur seketika. Sayangnya, kekuatannya terlalu lemah untuk mempertahankan diri. Tak lama tiang-tiang es tajam itu dikikis dengan angin yang dibuat para prajurit, kemudian runtuh dengan sendirinya.

Entah kemana lagi dia harus berlari. Jelas saja sekarang dia terpojok. Maju sama dengan bunuh diri, dan tidak ada lagi tanah yang tersisa untuk dipijak kakinya. Yang ada hanya air. Genangan air yang begitu besar. Ini benar-benar jalan buntu.

“Putri Serena, sebaiknya kau menyerah!”

Teriakan itu membuatnya tersentak, mendorong adrenalin serta ketakutan yang membuncah bercampur dalam dirinya. Otaknya mencoba beprutar, tapi sayang tidak ada apa-apa lagi yang bisa dia perbuat.

Satu kakinya bergerak mundur, mencoba memusatkan kekuatannya untuk membuat es. Sayangnya, menyentuh genangan air raksasa yang mengalir itu jelas hal yang salah. Karena hanya lewat singgungan kecil, gadis itu seketika merasa hampa. Kepalanya kosong, dan tak lama, dunia baginya terasa begitu.

Gelap. Kosong. Hilang.

Di tengah kesadaran yang hilang, gadis itu pun tenggelam, hanyut terbawa arus sungai yang seharusnya tidak pernah disentuh siapapun. []

This part was written by:
ArataKim

VoracityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang