KEEMPAT

3 0 0
                                    

Aku tak menyangka, aku dapat berpindah-pindah negara kurang dari seminggu. Dan lucunya, tanpa uangku. Selalu saja dibiayai, haha. Ya, bagi seorang Lakarin dibiayai adalah anugrah. Jika orang lain bisa menraktirnya, mengapa harus repot-repot mengeluarkan uang. Maaf, antara menghargai, miskin atau tidak punya harga diri, haha.

Aku memejamkan mata, sembari menikmati penerbangan Abu Dhabi-Indonesia lumayan untuk menghilangkan lelah. Sesekali menyesap sampanye sedikit-sedikit.

Aku belum menemui mama.

Bayangan wajah mama yang memberengut muncul di otakku. Aku tersenyum tipis. Merindukannya setelah lama sibuk menenggelamkan diri di London.

Sepertinya, menemuinya setelah sampai bukanlah ide yang buruk.

Jakarta, siang hari.

Udara Jakarta di siang hari memang paling menyebalkan. Panas terik tanpa ampun. Aku berjalan sembari membenarkan letak tote bagku. Bajuku sudah ku ganti tadi di dalam pesawat, setelah membeli di bandara. Aku tidak sempat mengganti baju yang kupakai dari London. Sangat jorok, tapi itu bentuk penghematan.

Lebih baik menaiki ojek online daripada memakai taxi yang argonya sangat mahal. Selain cepat dan efisien, ojek online pun lebih murah.

Setelah cukup lama bertarung dengan padatnya jalanan Jakarta dan debu, polusi serta kawan-kawannya, akhirnya aku pun sampai. Kembali ke rumah yang beberapa hari lalu aku datangi hanya beberapa belas menit.

Aku langsung meletakkan tasku asal di salah satu sofa, dan mencari keberadaan sosok yang tak sempat aku temui. Pintu kayu cokelat itu masih sama. Masih kokoh seperti lima tahun lalu. Tak banyak yang berubah. Hanya beberapa letak benda dan mungkin rumah ini sempat mengalami proses renovasi.

"Ayin?" Sapa wanita paruh baya yang kegiatannya terdistraksi karena pintu ruang kerjanya kubuka.

Aku tersenyum lalu berjalan untuk memeluknya. "Ayin kangen mama."

Ini yang aku suka saat bertemu mama. Tanpa banyak kata yang keluar dari mulutnya tentang penghakiman karena aku baru kembali. Ia hanya menyalurkan kehangatannya dengan elusan lembut di punggungku dan bisikan-bisikan rindu yang menenangkan.

"Ayin seneng di sana?"

Aku menyesap teh hangat yang disiapkan oleh Bi Mirah. "Lumayan, Ma."

Mama tersenyum sedih, seolah tau jelas seperti apa perjuanganku di sana. Walaupun masa kecilku tidak penuh diisi oleh mama, tapi aku tetap dekat dengannya. Ia selalu menyisihkan waktu luang di tengah jadwalnya yang mencekik. Baginya, keluarga adalah nomor satu. Untuk apa ia mendapatkan segalanya, jika keluarga harus ia korbankan. Sangat memotivasi, sepertinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang