Khitbahmu dan Khitbahnya

2.6K 82 5
                                    

Malam menjelang, karena hari ini Kamis malam, maka jadwal pondok adalah bersholawat. Aku sedang berdiri di dekat ruang tamu pondok untuk mengawasi santri putri yang berduyun-duyun menuju kelas masing-masing dan mengikuti acara diba'an rutin. Tiba-tiba ada sebuah kejutan yang membuatku terhenyak dan kembali teringat kata-kata Abi dan Umi tadi sore.

"Assalamualaikum, ukhti." Aku menoleh, menemukan seorang santri berdiri tak jauh dariku.

"Waalaikumsalam. Ada apa?"

"Afwan ana mengganggu, ana ingin bertanya dimana ya rumah Ustad Furqon yang memiliki putri cantik bernama Raihana?" Akhi berpipi tembam itu mengedarkan pandangannya sesaat, tidak menyadari pipiku yang mulai merona di balik cadar saat namaku disebutnya.

"Ana datang bersama Abi dan Umi ana untuk menemui Ustad Furqon," tambahnya.

Dadaku berdegub keras, iakah tamu yang digadang Abi dan Umi? Iakah yang akan dijodohkan denganku?

"Mari ana antar," tawarku, lelaki itu segera memanggil Abi dan Uminya untuk mengikuti langkah kami.

"Oh iya, kenalkan, ana Alif dan ini Abi, Umi ana." Santri berpeci dan berkoko hijau segar itu memperkenalkan dirinya. Aku segera menyalimi Uminya, lalu mengatupkan kedua tangan pada Abinya.

"Mari, ana antar ke rumah Ustad Furqon," ajakku, tidak memperkenalkan bahwa dirikulah Raihana, putri Ustad Furqon.

"Assalamualaikum." Aku dan ketiga orang di belakangku mengucapkan salam di depan pintu, lalu Abi dan Umi menjawab salam dan mempersilakan kami masuk.

"Raihana, lekas bantu Umi di dalam," seru Umi setelah menyalami tamunya, membuat akhi Alif memalingkan wajah mendengar namaku.

"Afwan, Umi Ustadzah, apakah ukhti ini Raihana?" tanyanya penasaran, aku semakin menunduk. Umi tersenyum dan mengiyakannya, aku segera permisi menuju dapur untuk menyembunyikan kebingunganku bersikap.

"Jadi, ukhti tadi putri Ustad? Mengapa dia tidak memperkenalkan dirinya?"

Aku mendengar dengan jelas keheranan akhi Alif dari dalam dapur.

"Ternyata, benar cantik dan shaliha," tambah akhi Alif, disusul tawa di antara empat orang itu.

"Eh, kok ngelamun? Antar minuman dan camilan ini," pinta Umi.

"Tapi, umi. ... " Aku berusaha mengelak. Tapi Umi tetap menyuruhku, padahal aku malu.

"Raihana malu, Umi.."

Umi meyakinkanku tidak akan terjadi apa-apa. Dengan tertunduk aku menjalankan perintah Umi. Toh aku memang harus memperlihatkan diri kepada calon imamku kelak.

"Perempuan shaliha, santun, dan menjaga pandangan. Sungguh anti calon menantu idaman, nak Raihana," ucap Umi akhi Alif, mengecup ujung kepalaku. Pipiku menghangat lagi. Aku ingin sekali segera kembali ke dapur, tetapi Umi dan Abinya akhi Alif memintaku duduk.

"Bagaimana Alif? Yang seperti inikah yang kau damba?" Ucapan itu membuatku dan akhi Alif menunduk.

"Insyaallah, Abi, Umi, ana akan menurut pada umi dan Abi," jawab akhi Alif.

Namun tiba-tiba ada seseorang yang mengucap salam. Aku mendongak, dan menemukan paras seorang Ustad muda yang telah lama kunanti. Sosoknya yang datang tanpa kuda putih atau kereta kencana, ia hanya datang dengan baju koko berwarna pastel dengan kopyah hitam yang sederhana. Penampilan sederhana itu pulalah yang selalu sulit kuhapus dari ingatan.

"Assalamualaikum," Semua mata menoleh padanya.

"Waalaikumsalam, masuklah, Fidz," pinta Abi menggiring pundak Hafidz. Aku menunduk semakin tenggelam. Mengapa ada Hafidz di sini? Sebenarnya yang akan dijodohkan denganku ini akhi Hafidz atau akhi yang tembam tadi?

Cinta Dalam Istikharah [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang