Madinah Is Jannatiy

1.9K 75 1
                                    

Madinah 2018

Hembusan angin senja menerpa wajahku, seketika dingin merasuk. Merayap sampai ke hati yang selalu kukunci. Setiap menjelang Magrib seperti ini, aku selalu merasakan kesepian dan rindu. Padahal sudah setahun aku menetap di sini, di Madinah, tapi aku tetap tidak bisa melupakan semua masa lalu itu.

Mungkin saat ini, gadis itu—Raihana namanya—telah hidup bahagia dengan Bang Alif. Ah, betapa tidak beruntungnya nasip percintaanku. Tidak bisa meraih apa yang telah lama aku doakan di setiap istikharah.

Tidak, aku tidak marah kepada Bang Alif yang dipilih Raihana, hanya saja, ... . Sudahlah, mengingat peristiwa itu selalu membuat dadaku terasa sesak. Ternyata aku manusia biasa yang takut dan memilih lari dari kenyataan.

Setelah Raihana menyebut nama Bang Alif sebagai calon imamnya, langitku seolah runtuh. Padahal akulah yang selalu menemukan gadis itu dalam istikharah. Dan Bang Alif--sekali lagi aku menolak kebencianku dengan kuat, dia abangku, saudara sedarah dan artinya aku tidak boleh menaruh amarah sedikit pun padanya--mengatakan bahwa kopyah kesayanganku itu miliknya.

Tak terasa mataku berembun karena tanpa sadar kembali mengundang memori itu. Bibirku langsung kubasahi dengan istigfar. Seperti inikah sulitnya menanggung cinta?

Saat ini aku sedang beritikaf di Masjid dekat Madinah University, larut dengan musahabahku. Ingin sekali kuhapus semua rasa kecewa dan sedih itu.

Sekelebat, kulihat ke arah halaman Masjid ada sebuah wajah yang kukenali. Wajah ayu, mata teduh dan keanggunan itu, hatiku dilanda gelisah. Apa mungkin penglihatanku salah? Atau memang ukhti Raihana benar-benar ada di sini?

"Tidak Hafidz, aku tidak boleh terbawa perasaan. Mungkin saja itu gadis lain yang mirip dengannya." Aku berkata pada diriku sendiri.

Dengan keras aku berusaha menyirnakan keresahan itu. Seusai adzan Magrib, aku segera melaksanakan kewajibanku. Lalu sengaja tetap berada di Masjid sampai nanti waktu Isya. Seperti biasa, kajian hadist bakda Isya oleh imam di sini selalu menarik untuk diikuti.

"Assalamualaikum, Zul," seseorang menepuk pundakku. Aku mendongak dan menemukan wajah Khafid di samping, mungkin saking larutnya aku mengulang hapalan sampai tidak menyadari kedatangannya.

"Ada apa, Fid?" Balasku, Khafid adalah teman satu flat, ia berasal dari Ponorogo.

"Ana tadi ketemu wanita bercadar dari Indonesia, katanya lagi nyari seorang hafidz yang kuliah di Madinah."

Jantungku berdegub tidak karuan. Apa benar wanita ini Raihana? Tapi untuk apa ia ke sini? Bukankah ia sudah menikah dengan Bang Alif? Atau malah telah memiliki anak, yang terhitung masih keponakanku.

"Sekarang dia ada dimana?" Seruku segera, berharap gadis itu memang Raihana.

"Masih di parkiran mungkin,"

Aku bangkit dan beranjak dari tempatku, dengan berlari aku menuju parkiran. Jika memang itu Raihana, aku akan senang sekali.

Sejak pertama menginjakkan kaki di Madinah, orang-orang memanggilku Zul atau Izul, bukan lagi Hafidz seperti di Indonesia dulu. Pun aku hanya meninggalkan email kepada Umi dan Abi di Indonesia tanpa memberi mereka nomor telpon yang kugunakan.

Aku sengaja seolah 'menghilang' untuk menenangkan diri dan berusaha mengikhlaskan. Ternyata memang berat, namun dalam perjalanan waktu setahun ini, aku mulai membuka lembaran baru hidupku. Bayang-bayang Raihana yang sholiha selalu kuusir dengan istigfar setiap saat.

Aku mengedarkan pandangan, mencari wanita itu, apa benar dia itu Raihana?.

"Assalamualaikum, akhi." Suara seorang wanita memaksaku berbalik.

Cinta Dalam Istikharah [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang