Kisah Kaum Papa

36 1 0
                                    

Aroma hujan, saat matahari menyingsing dan kembali dari kelana-nya. Mulai berlari-lari kecil dari ufuk timur menuju ufuk barat ditemani warna jingga kebiru-biruan. Kicauan burung bernyanyi sambil menari, saling bersahutan dengan kokokan ayam untuk membangunkan para pemalas.
Kaum papa yang bangun lebih awal, mulai berlomba-lomba satu sama lain untuk mengais recehan rupiah dari para kapitalis yang malas. Bercengkrama dengan Tuhan sebelum melangkahkan kaki menuju rezeki.

"Kita akan makan apa sebentar ibu?" Tanya seorang anak kelaparan kepada sang ibu.

"Tenanglah nak, sebentar ibu akan ke pasar. Berbelanja makanan untuk kamu." Jawab sang ibu dengan senyuman kebohongan.

Sang ayah mulai berjalan meninggalkan rumah -yang terbuat dari pilah-pilah rotan, beratapkan daun kelapa yang dikeringkan hingga berwarna kecoklatan dan beralaskan tanah yang berlumpur selepas hujan- menuju gedung pabrik milik sang kapitalis. Sang anak masih saja merengek pada ibunya seraya menahan lapar.

Disisi lain, mereka para pemalas masih tertidur pulas. Sedang asik mengigok menghitung kekayaan mereka dengan cara memeras tenaga para kaum papa. Seraya tertawa lepas, "Akulah yang terkaya, haha". Sebagaimana kita ketahui, sebuah sistem dalam kapitalisme klasik adalah menjajah hingga seseorang ataupun sebuah wilayah menjadi bangkrut. Dikuatkan dengan pernyataan dari Benjamin Franklin, "Waktu adalah uang" yang merupakan tokoh penggagas ideologi Liberalisme atau dikenal sebagai bapak pendiri Amerika Serikat dan diteruskan oleh Adam Smith sebagai panggagas perekonomian dari Liberalisme, yaitu Kapitalisme.

Seorang ayah yang bekerja sebagai buruh dalam sebuah pabrik, mendapatkan upah yang tak sebanding dengan apa yang dikerjakannya. Dia dan kawan-kawannya dipaksa bekerja dari awal matahari memberikan cahayanya secara personal hingga cahayanya dibagi kepada bulan yang merupakan satelit bumi. Mereka dipaksa bekerja secara keras untuk mengisi pundi-pundi rupiah para kapitalis.

"Sampai kapan kita seperti ini?" Tanya salah satu kawannya. Sang ayah itu hanya terdiam dan tak menghiraukan pertanyaan dari kawannya.

"Ini adalah tanah kita, tanah yang diperjuangkan oleh para pejuang kita sebelumnya. Tapi kenapa masih saja kita menjadi budak di tanah kita sendiri, bukankah kita sudah merdeka?" Tambah temannya.

"Sabarlah kawan, nenek moyang kita kan sudah digariskan untuk menjadi babu." Jawabnya dengan pesimis.

"Lagipula, kita tidak mampu berbuat banyak selagi masih banyak pengkhianat di negri kita. Dan merekalah yang menduduki segala jabatan penting di negri ini. Aku pun sadar dengan hal itu, kita bekerja mengambil hasil tanah kita sendiri dan dikelola oleh mereka, hingga dijual pada kita dengan harga yang mahal." Lanjut sang Ayah.

Soekarno pernah memperingatkan kita dalam sebuah pidatonya, "Lebih baik kita makan gaplek, asalkan merdeka. Dibandingkan makan bistik, namun tetap menjadi budak." Lantang Soekarno dalam pidatonya yang sangat tak ingin rakyatnya diperlakukan dalam sebuah kerja rodi dan kerja romusha yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun apa yang terjadi pada saat ini? Tak ditemui lagi pemimpin seperti demikian, yang menjadikan rakyatnya sebagai prioritas, bukan sebagai aktivitas. Kita bagaikan seorang yang mempunyai sebuah sumur dalam suatu desa, hingga banyak tetangga kita yang meminta air di sumur untuk dikelola menjadi air siap minum. Kemudiam kita mengizinkannya, setelah airnya sudah dapat di minum. Lalu kita membeli air itu dengan harga yang sangat mahal. Seperti itulah kondisi kita saat ini. Hampir seluruh kekayaan alam di Indonesia, dikelola oleh mereka negara asing. Setelah jadi, kita membelinya dengan harga yang sangat mahal. Namun mirisnya terkadang kita bangga sebagian produk-produk terkenal yang dibuat negara lain merupakan hasil dari tanah kita. Buat apa kita bangga kalaupun kita tetap saja membelinya dengan harga yang sangat mahal? Belum lagi, upah yang perusahaan berikan tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan para buruh. Hingga tak sedikitnya kaum papa melihat keluarganya tak mendapatkan makanan dan kesehatan yang cukup.

Matahari pun kembali pada singgasananya dan di ikuti oleh lembayung senja, begitupun sang ayah pulang dari rumah besar kapitalis. Sesampainya di rumah di dapati anaknya yang sedang terbaring di tempat tidur dengan badan yang gemetar karena menahan lapar.

Kopitalisme; Kita Diskusikan di Warung Kopi (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang