Konspirasi Kopi

27 0 0
                                    

Pada kegelepan malam yang pekat. Tak terlihat bulan yang sudah 2 hari terakhir mangkir. Bintang-bintang pun bersembunyi di balik gumpalan awan yang semakin menghitam.

“Sial! Hujan akan turun lagi.” kata seorang lelaki mengutuk keadaan dari atas motornya yang sedang menunggu lampu merah berganti hijau.

Seorang lelaki dengan wajahnya dirundung kegelisahan. Sebab ia baru saja dipecat dari kantornya. Sebuah kantor desain grafis yang selalu mengejar deadline pada setiap pegawainya. Dengan doktrin kapitalis dari seorang bapak Amerika, Benjamin Franklin, “Waktu adalah uang.”

“Kau berhasil membuatku dipecat, Franklin!” katanya saat hendak meninggalkan kantor.

Ia memang sadar akan kesalahannya, karena tidak mampu menyelesaikan desainnya di waktu yang tepat. Namun, tidak adakah sebuah dispensasi bagi mereka yang meninggalkan pekerjaan untuk menjenguk ibu-nya yang sedang terbaring di Rumah Sakit? Segala bentuk kekhawatiran pun mulai menghantam isi kepalanya. Akan ke mana ia selepas ini? Kerja serabutan? Tapi pekerjaan seperti apa. Belum lagi uang kos, biaya hidup di sebuah perkotaan terlebih lagi biaya rumah sakit ibu terlalu mahal untuk kondisi ekonomi keluarganya. “Aarrgghhh!”

Selepas lampu merah berganti hijau, hujan mulai turun dengan caranya yang memberontak secara tiba-tiba dan bulir-bulirnya yang terasa sakit saat menghantam wajah, bagai peluru tak mematikan. Dari kejauhan perempatan, ia melihat sebuah warung kopi yang berada sebelah kiri jalan. Ia berpikir untuk mangkir sejenak seraya menunggu hujan reda.

“Bolehlah sesekali untuk merasakan kopi asli, sambil menunggu hujan berhenti.” gumamnya.

Ia mulai melaju untuk menuju warung kopi tersebut. Sebab selama ini, kopi sachet-lah yang menemaninya sebelum berangkat kantor maupun sepulang kantor. Dengan wajah tampak lesuh dan kameja acak-acakan, ia masuk ke dalam warung kopi tersebut. Warung kopi yang nampak minimalis dengan desain gaya vintage. Terdiri dari 6 meja yang tersusun rapi dan berpasangan 4 kursi untuk setiap mejanya. Sisi kirinya terdapat 2 meja lagi yang di khusukan untuk mereka yang berpasangan. Terbuat dari jenis kayu sungkai, jenis kayu yang cerah dan di padukan dengan finishing cat transparan membuatnya tampak elegan. Di sisi kanannya terdapat rak buku yang hampir memenuhi dinding dan bagian atasnya bertuliskan, “Membaca Menuntunmu pada Kesesatan yang Benar” dengan gaya font uglyqua dan mempersilahkan pengunjung untuk membaca secara gratis. Di depan terdapat meja barista yang di isi dua orang barista dan satu orang kasir yang sedang duduk sambil membaca buku bersampul merah.

Lelaki itu memilih untuk duduk di sisi kiri, pada meja yang hanya di siapkan untuk berdua. Ia langsung duduk sebelum memesan. Sesekali ia menundukkan kepalanya, melipatkan kedua tangannya, lalu di letakkan di kepalanya sambil mengacak-ngacak rambutnya. Sesekali juga ia menderham.

Tiba-tiba telfon genggamnya bergetar.
“Kamu habis dari mana aja sih? Sudah dari tadi di tungguin.” Celoteh seorang wanita dari balik telfon genggamnya.

“A-a-aku….”

“Ah! Sudahlah. Kita putus!” Sigap wanita itu memotong dan mematikan telfon.

“Aahh. Wanita sialan!” Gumamnya dengan wajahnya yang memerah dan kesal.

Ia hanya dapat pasrah dengan keadaan. Menghela napas panjang untuk menenangkan kondisi hati yang amburadul.

“Hey, bung?” sapa seorang lelaki dengan sapaan hangat khas barista. Ia berdiri tepat di depannya. Membawa sebuah nampan yang berisi segelas kopi espresso, segelas soda dingin dan biskuit pada piring kecil.

Lelaki itupun kaget. “Oh, hey…”

“Boleh ‘ku duduk sini?”

“Oh, iyaiya silahkan.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kopitalisme; Kita Diskusikan di Warung Kopi (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang