Entah mengapa disetiap pelajaran bahasa Indonesia, Risa selalu mengantuk. Bukan karena ia tak suka dengan pelajaran itu, bahkan ia sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi, kalau diberi tugas mengarang.
Langsung mengalir, lancar.
Risa itu salah satu orang yang pandai berimajinasi, itu menurutnya. Tapi, menurut teman-teman lainnya, Risa itu tukang menghayal. Dikit-dikit ngayal, bentar-bentar ngayal. Seperti dihidupnya tidak ada kerjaan lain.
Sudah empat kali Risa terhitung menguap siang hari ini, suasana siang kali ini sangat mendukung untuk ia tidur. Kelasnya di lantai tiga, ia duduk dekat jendela yang menampilkan bahwa siang ini cahaya matahari tak terlalu terik, panas namun teduh.
Angin sepoi-sepoi juga menerjang helaian rambut yang sudah sedikit acak-acakkan itu.
Gue butuh cuci muka. Pikir Risa.
Lalu, ia menyuruh Brigita untuk menyingkir sedikit kemudian, melangkah menuju depan kelas meminta ijin kepada guru.
Sejurus kemudian melangkah keluar dari kelas, setelah mendapatkan ijin dari guru. Menuju toilet di ujung koridor yang sedang Risa lewati ini.
"RISA!" Suara melengking itu berhasil membuatnya kaget, yang mana sedikit mengurangi rasa kantuknya. Ia menoleh ke balik kelas yang ia lewati.
Afriska?
Langkahnya terhenti, masih menatap Afriska, yang sekarang dia juga sedang menatap ke arahnya. Kemudian, ia melihat dia melambaikan tangan tanda stop. Seolah mengerti, ia menganggukan kepala dan melihat Afriska yang keluar kelas.
"Ris." Ucapnya ketika sudah di depanku. Di akhiri dengan senyum manisnya. Bahkan Risa bertaruh tidak ada yang akan mengelak kalau Afriska ini memang cantik. Tubuhnya proposional, ia juga tinggi namun masih dibilang normal untuk perempuan.
"Kenapa Fris?" Tanya Risa, karena ia benar-benar bingung.
"Enggak, gue cuma mau nitip ini buat Ega. Lo temen kelasnya kan?" Lagi, dengan senyum khasnya itu, ia mengakhiri ucapannya.
"E-eh, iya. Gue temen sekelasnya."
I am? Kenapa harus gue, sih?! Batin Risa sedikit merasa kesal.
Bahkan rasa kantuknya sudah benar-benar hilang. Sepertinya, ia tidak perlu untuk ke toilet lagi.
Tapi, Risa masih membutuhkan air untuk mengembalikkan kesadarannya.
"Makasih Ris, udah mau direpotin." Lalu tangannya memberi paperbag bewarna hitam pudar itu. Risa reflek memajukan tangan untuk menerimanya.
"Iya." Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Risa. Detik berikutnya, bel berbunyi, menandakkan pergantian materi pelajaran. Pandangannya teralih ke dalam kelas Afriska yang mulai sepi.
Seakan sudah tersadar, Risa baru tahu kalau kelas Afriska KBM selanjutnya itu olahraga.
"Gue duluan ya Ris. Mau warming up dulu." Untuk ketiga kalinya ia tersenyum seperti itu lagi.
Risa yakin kalau ia laki-laki, detik itu juga sudah jatuh dengan senyuman perempuan itu, yang sekarang sudah melambai ke arah Risa lalu pergi menuju, lantai dasar.
Sementara itu, Risa menatap paperbag amanat ini dengan datar. Apa iya sekarang ia harus berurusan dengan dia lagi?
Risa mengedarkan pandangan dan jatuh di ujung koridor sana, lantas ia melotot. Bagaimana tidak, beliau adalah guru yang seharusnya mengajar dikelasnya sekarang. Langkah seribu ia lakukan untuk kembali ke kelas.
Dengan napas yang masih belum teratur, ia memasuki kelas yang cukup berisik itu tergesa-gesa.
Hampir saja, ia menjatuhkan paperbag amanat itu. Kemudian, ia menangkap beberapa temannya yang menunjuk papan tulis, ia yang ingin tahu juga menoleh ke samping kirinya. Melihat tulisan rapi, yang ia kenal, itu tulisan Brigita. Dan terdapat pembagian kelompok yang sudah tertera di papan tulis itu.
Kakinya melangkah menuju bangkunya, lalu memasukkan barang tadi ke laci. "Itu apa lagi?" Tanyanya kepada Tita, panggilannya terhadap Brigita.
"Itu tugas resensi novel, kelompok. Perkelompok dua orang. Itu di acak Ris, serius. Bukan sekretaris yang nentuin." Jelas Tita, memang, di kelasnya ini sekretaris punya hak untuk memilihkan anggota dalam kelompok.
Dan Selama ini, Tita menggunakan hak itu dengan baik. Ia selalu memasukkan nomor absen Risa dan Debi ke dalam kelompokknya. Pintar kamu, Ta.
"Gue sama absen berapa?"
"14." Ucap Tita pelan.
"Sama Fabian?" Tanya Risa santai, tangannya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Pak Gani, nggak kosong, btw." Ucap Risa memberi tahu Tita.
"Hmm, bukan Fabian, Ris." Risa menatap Tita, menunggu perempuan itu untuk melanjutkan pembicaraannya. "Ega." Pungkasnya.
Lalu, "Selamat siang."
Risa menengok ke depan. Pak Gani, sudah berdiri di depan, siap menyampaikan materi. Lalu, ia mencoba fokus untuk memahami materi yang di sampaikan beliau.
Tapi,
Ega? Again?
Risa hanya bisa menghela napas, dan untuk pertama kalinya ia menengok ke belakang, dia sedang menulis sesuatu, di buku tulisnya.
He was still same person.
Lucu memang, ia berpikir ia terlalu dini untuk saling berbagi rasa dengan Ega dulu.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs. Always Right
Fiksi RemajaDira memandang Regi dengan pandangan tak suka. Dinda melengos melihat keduanya. Ardan terdiam dengan wajah tak pedulinya. "Milih, buku aja lama. " Risa menoleh, melihat seseorang di sampingnya dengan pandangan tak suka lalu, kembali mem...