Aji terus memainkan pulpen yang ada di genggamannya saat pelajaran kimia berlangsung. Iya, gitu-gitu dia anak IPA guys. Dari semua pelajaran IPA yang ada, Aji tidak terlalu suka pelajaran kimia. Tapi kalau urusan nilai, jangan tanya deh. Nggak tau gimana caranya, pokoknya, kalo ulangan kimia dia bisa tiba-tiba ngerti dan hasilnya nggak pernah remed. Aneh ya? Namanya juga Aji. Abstrak.
"Ji," Ekki, teman sebangku Aji, menyenggol lengan kiri teman yang ada di sebelahnya itu.
"Apaan?"
Ekki melihat ke depan sebentar, memastikan guru kimia – Bu Emi – sedang tidak memerhatikan mereka, lalu kembali menoleh pada Aji. "Nanti pulang sekolah pada mau supporteran. Lu mau ikut kagak?" Ekki bertanya dengan nada rendah agar tidak tercyduck guru kimia.
"Yaelah, kirain apaan," Aji menjitak kepala Ekki dengan pulpen yang daritadi ia mainkan. Ekki hanya merintih kesakitan. "males ah, gue basketan nggak pernah ada tuh yang supporteran-supporteran begitu." Lanjut Aji.
"Ish ini kan –"
"EKKI, AJI! KALIAN BUKANNYA MERHATIIN MALAH ASIK NGOBROL. Cepat keluar dari kelas saya!"
Nah, kan. Tangan kanan Ekki yang sedang memegang kepalanya yang sakit langsung turun ke wajah ketika tau namanya disebut. Sepelan apapun suara muridnya, pasti Bu Emi dengar.
Akhirnya, tanpa basa-basi, mereka berdua keluar dari kelas. Sebenarnya, Aji mah senang-senang aja disuruh keluar. Buktinya sekarang ia berjalan santai di koridor menuju ke kantin. Lah, kalo Ekki?
"Ji, anjir lah ini malah disuruh keluar, gimana dong?" Ekki menyeimbangi langkah Aji yang besar sambil terengah-engah. Tapi tetap saja ia tertinggal di belakangnya.
"Lu sih bacot banget jadi anak, kan begituan bisa dibahas nanti,"
Langkah Aji tiba-tiba berhenti – sambil mengacungkan jari telnjuknya – yang membuat orang di belakangnya terjatuh ke lantai. "eh tapi trims loh, Ki, bosen banget tadi di kelas, laper juga!" lalu Aji manjutkan langkah kakinya tanpa memperdulikan Ekki yang masih terduduk di lantai.
"Emang rese banget jadi anak, ya. Untung temen." Ekki berbicara sambil menatap jengkel teman sebangkunya yang perlahan menghilang dari pandangan.
Saat Ekki sedang berusaha berdiri, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang tidak asing sedang berjalan berdampingan menuju ke arah kantin dengan sosok yang – hey, bukankah itu Agoy?
Ingin sekali rasanya Ekki menelfon Aji tentang apa yang ia lihat barusan, tapi sepertinya percuma. Mereka berdua – Ghista dan Agoy – lebih dulu menghilang di belokan kantin. Akhirnya Ekki berjalan santai jauh di belakang mereka.
****
"Deh, nasi gorengnya satu ya! Yang puedeeess buanget!" Aji berjalan ke meja paling pojok di kantin setelah memesan makanan pada Budeh, ibu kantin terbaik seantero SMA Pelita.
Ghista dan Agoy datang tepat saat Aji ingin mengambil hp dari saku celananya. Aji terpaku sejenak, memandang ke arah sahabatnya yang sepertinya sedang asik berbincang dengan orang di sebelahnya. "Ini nasi gorengnya, Mas Aji." kata Budeh sambil meletakkan sepiring nasi goreng pesanan Aji di hadapannya. Sebagai balasannya Aji hanya bergumam terima kasih sambil mengangguk.
Saat Aji sudah mulai menyendok makanannya, Ekki menghampiri dengan tatapan bingung karena melihat teman sebangkunya yang makan tanpa selera – sambil sesekali memandang ke arah seberang. Ekki mengikuti arah pandangan itu dan langsung mengerti.
"Udah liat ya, Ji?"
Tak ada respon.
Ekki berinisiatif mengambil sendok yang tersedia di meja itu lalu ikut menyendok makanan Aji sembari mengobrol. "Udahlah Ji – YA ALLAH AJI INI PEDES BANGET WOI! Kalo lagi emosi ya nggak gini juga kali!" Ekki langsung terbirit-birit ke warung yang menjual minuman dingin, meninggalkan Aji sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Unsaid
Teen FictionAghista Fara Hilya dan Alfarazi Bima Putra mengajarkan kita untuk segera melakukan apa yang seharusnya dilakukan, memberi apa yang selayaknya diberi, dan menyatakan sebuah kejujuran yang memang sudah sepantasnya dinyatakan, sebelum terlambat. Karena...