Selama di perjalanan, Agoy baru bersuara saat motornya terhenti karena lampu merah.
"Makan dulu nggak?"
Qory mencondongkan kepalanya ke bagian kiri kepala Agoy. "Gue masih kenyang eskrim."
"Apa yang dikenyangin coba dari eskrim?" Agoy berbicara pelan – pada diri sendiri – di balik helm full-facenya.
"Gue kan nggak rakus kayak lu," tiba-tiba Qory menjawab.
"Lah kok lu denger sih, Ry? Cenayang lu ya?"
Tak sempat Qory menjawab, lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau. Motor mereka pun melaju kembali. Baru setengah perjalanan, ternyata cacing-cacing di perut Agoy sudah demo. Saat melihat ada warung soto di pinggir jalan, Agoy langsung membelokkan stirnya.
"Kok kesini? Gue kan masih kenyang, Goy."
"Iya tapi gue laper banget asli, Ry. Lo temenin aja deh kalo emang nggak mau makan." Agoy mencopot helmnya dan masuk ke dalam warung meninggalkan Qory. Untuk yang ketiga kalinya di hari ini – saat bersama Agoy – Qory mengalah. Ia mengekori langkah Agoy yang langsung menghampiri si penjual untuk memesan soto.
"Yakin nggak makan?"
"Iya. Gue minum aja,"
"Es teh?"
"Anget."
"Hah mana ada es teh anget, pinter."
"Maksud gue teh anget yaAllah.."
Si penjual hanya cekikikan mendengar percakapan dua remaja ini. Setelah memesan satu porsi soto ayam, 1 es teh manis, dan 1 teh manis hangat, Agoy mengajak Qory untuk ke meja di dekat jendela, menghadap ke jalan raya. Malam itu dingin. Semilir angin masuk melewati sela-sela jendela yang terbuka. Saat pesanan mereka datang, Qory langsung mengambil minumannya dan memegang setiap sisi gelasnya dengan erat. Qory kedinginan.
Agoy yang menyaksikan kejadian tersebut jadi sedikit khawatir.
"Ry, gapapa lu?"
Qory hanya mengangguk dan merapatkan jaketnya.
"Gue makan, ya." Agoy terlihat sangat menikmati soto di hadapannya sambil sesekali menambahkan sambal dan kecap ke dalam mangkuknya.
"Goy lu tadi kenapa sih pas di kedai?"
Agoy mengangkat wajahnya bingung. "Loh, kan tadi udah cerita?"
Qory menggeleng. "belum lengkap," ucapnya. Tatapannya seakan-akan meminta Agoy untuk melanjutkan ceritanya secara lengkap.
Agoy meletakkan sendok yang sedang ia pegang dan melipat kedua tangannya di meja. "Keluarga gue kehilangan warnanya, Ry,"
Agoy menghela napas berat sambil menyenderkan tubuhnya ke kursi. Raut mukanya berubah tidak enak – tampak gusar. Selera makannya mendadak hilang.
"nyokap gue sakit."
****
Aji mengantar Ghista pulang setelah selesai makan eskrim di Mekdi tadi. Awalnya Aji ingin mampir ke rumah Ghista, namun karena baru ingat bahwa ada tugas yang harus dikumpulkan besok, ia memilih untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Ekki.
"Assalamualaikum!"
Tak lama kemudian muncul perempuan paruh baya yang mebukakan Aji pintu. "Waalaikumsalam. Eh Aji? Nyari Ekki ya?"
"Iya tante." Jawab Aji sambil tersenyum ramah.
"Masuk aja, itu Ekkinya di atas, main ps."
Aji mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum menyusuri tangga untuk naik ke tempat Ekki berada. Dan sesampainya, benar saja, Ekki sedang bermain ps.
"Woy, Ki!" Aji menepuk bahu Ekki sampai yang ditepuk pun terlonjak kaget dan mendapati Aji telah duduk di sampingnya.
"Gila lu ye, nggak ada permisi-permisinya samsek,"
Aji tertawa sambil mengambil stik ps lainnya yang tergeletak tak jauh dari tv. Ekki hanya memandangi dengan tatapan bingung. "Jadi kesini cuma buat numpang main ps nih?"
"Pengen numpang ngerjain tugas kimia sebenernya," jawab Aji santai.
"LAH SUMPAH ADA TUGAS?" reaksi Ekki gantian membuat Aji kaget karena suaranya yang sangat nyaring. "tau gitu gue nggak ps-an dulu anjrit."
Ekki langsung meletakkan stik ps nya dan berjalan ke arah kamar.
"Ah lu belum ngerjain juga ternyata? Nyesel gue kesini," Aji ikut bangkit dari duduknya dan mengekori Ekki ke kamar.
Dari dalam kamar, Ekki mendengar ucapan Aji tadi dan langsung menimpuk Aji dengan bantal.
"Sialun! Dasar temen kalbut."
Yang kena timpuk hanya tertawa puas. Senang sekali rasanya jika ia mengisengi teman sebangkunya yang satu ini. Setelah menyiapkan buku-buku yang diperlukan untuk mengerjakan tugas, keduanya duduk di karpet samping kasur.
Alih-alih mengerjakan, Aji justru lebih dulu membuka percakapan.
"Ki, masa tadi Ghista ngomong gini,"
"Nahkan emang, gue udah nebak sebenernya kedatangan lo kesini tu mau curhat bukan mau ngerjain tugas." Kata Ekki sambil mengalihkan perhatiannya dari buku yang tadi sempat ia buka.
"kenapa si Ghista?"
Aji diam sejenak sambil menyusun kalimat yang pas. "ya intinya, dia deket lagi sama Agoy gitu. Udah dari lama sebenernya tapi dia baru cerita tadi aja."
Ekki masih menyimak sohibnya itu. "terus?"
"Terus kayaknya sih Ghistanya suka. Kayaknya lho ya."
"Ih bagus dong!" jawab Ekki setengah teriak, penuh antusias.
Aji melempar penghapus ke arah Ekki dan tepat mengenai dahinya.
"Duh! Apaansi?!" Ekki memijat dahinya.
"Ngasal bet mulut kalo ngomong!"
"Lah apa salahnya coba kalo gue bilang bagus. Nggak suka lo? Cemburu? Ha?" Aji ingin menjawab namun Ekki lebih dulu bangkit dan mengambil sesuatu dari samping meja belajarnya.
Ternyata ia mengambil sebuah gitar akustik kesayangannya. "Ngapain ambil gitar?" tanya Aji.
Dengan tangan yang sudah siap memetik alunan gitar, Ekki memejamkan matanya guna menambah penghayatan saat menyanyikan lagu milik Maliq D'Essential yang sekiranya (sangat) cocok dengan kondisi temannya saat ini.
Mungkin memang ku yang harus mengerti
Bila ku bukan yang ingin kau miliki
Salahkah ku bila, kaulah yang ada di hatiku~
Ekki membuka matanya setelah menyanyikan lirik terakhir. Dan, benar saja, Aji sudah menatapnya dengan tatapan siap-untuk-menimpuk.
"Emang beneran salah kayaknya gue kesini ya,"
Ekki tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya saat melihat ekspresi Aji.
Aji mengabaikan suara tawa Ekki dengan pura-pura mengerjakan tugas kimia sampai tiba-tiba terdengar suara yang menyebalkan,
"Nggak usah sok-sok-an ngerjain kalo yang ada di otak lo sekarang cuma si Ghista, Ji." Ekki meledeknya habis-habisan.
"Gelut aja lah kita yuk?"
---------------------------
p.s :
kalbut = kalau butuh (kalau ada maunya aja)
Happy Reading!
Love, A9.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Unsaid
Fiksi RemajaAghista Fara Hilya dan Alfarazi Bima Putra mengajarkan kita untuk segera melakukan apa yang seharusnya dilakukan, memberi apa yang selayaknya diberi, dan menyatakan sebuah kejujuran yang memang sudah sepantasnya dinyatakan, sebelum terlambat. Karena...