E

537 91 12
                                    


"Gak dateng! Huft!" Yein mendengus sebal. Ia menjatuhkan pantatnya di atas tempat duduk dekat pintu utama stasiun. Bukan hanya jengkel yang ia rasakan, rasa kecewalah yang mendominasi. Kalau saja ia tidak sedang berbicara dengan Soojin dan Eunbi di ponselnya, mungkin ia sudah menangis tiga puluh menit lalu sejak kedatangannya yang tak melihat sosok Jungkook.

Yup, Jeon Jungkook. Seniornya yang melamarnya minggu lalu di kantin. Yang sebelumnya mau datang ke stasiun jam 8. Bullshit!

"Ya ampun! Aku kenal Jungkook sunbae loh. Dia bukan orang yang seperti itu." ucap Soojin. Jangan heran kenapa kedua temannya itu tahu, karena Yein sudah memberitahu saking senangnya. Dan respon mereka berdua sama hebohnya.

"Kenapa tidak telpon orangnya saja?" kali ini Eunbi yang berbicara. Eunbi sedang berada di rumah Soojin. Katanya sih mau mengerjakan tugas. Emang dasar si Eunbi ambisnya kelewatan.

"Aku akan melakukan itu kalau aku tahu nomornya, Bi." Jawab Yein. Setelah kejadian di kantin, ia tak bertemu dengan Jungkook lagi. Bodohnya ia tidak meminta nomor Jungkook terlebih dahulu.

"Trus bagaimana? Mau menunggu sampai dia datang?" tanya Soojin khawatir.

Yein menghela napas panjang kemudian menggeleng. "Setengah jam lagi keretanya berangkat. Aku tak mau menyia-nyiakan tiket yang sudah kubeli hanya untuk hal tak pasti seperti ini."

"Besok aku bantu begal dia deh, In." sahut Eunbi.

"Iya. Aku ikut deh. Kita begal rame-rame aja." ucap Sooji. "Kalau begitu hati-hati dijalan, In. Kalau dia emang serius, pasti dateng. Yah tapi gak perlu nungguin juga sih. Duh, kecewa berat sama tuh orang." tambahnya.

Yein tersenyum. Merasa terhibur oleh celotehan kedua sahabat. Ia pun menutup panggilan setelah mengucapkan salam perpisahan. Sembari menggerutu sebal, Yein memasukkan ponselnya kedalam tas. Diraihnya kaleng minuman yang sudah kosong dari samping tempat duduknya, kemudian melampiaskan kekesalan dengan meremasnya sampai menjadi kecil.

"Semua lelaki tuh sama aja!" kesalnya. Ia menghentak-hentakkan kakinya. Mungkin karena jengah dijadikan pelampiasan oleh Yein, si kaleng pun melepaskan diri dari genggaman tangan Yein. Terbang ke arah belakang.

Tak.

Sekedar info saja. Kursi di stasiun memiliki dua sisi. Sisi depan dan sisi belakang. Sepertinya kaleng Yein mengenai seseorang yang duduk di kursi belakang. Yein segera berdiri, berbalik, dan membungkuk berkali-kali.

"Maaf. Aku tak sengaja. Maafkan a-" Yein terkejut melihat sosok yang di tunggunya sedari tadi itu beranjak dari kursi dan menatapnya dengan sama terkejutnya.

Jeon Jungkook.

Ternyata sejak tadi lelaki itu tidur di belakang kursinya. Darimana Yein tahu? Mata Jungkook sedikit merah, rambutnya acak-acakan, dan ada cetakkan kursi yang membekas di pipinya.

"Yein-ssi, maaf menungguku lama." Jungkook tersenyum kikuk sembari mengusap tengkuknya.

"Ah, tidak. Aku baru datang. Ma- maaf kalengnya." Yein jadi salah tingkah sendiri. merasa bersalah karena beberapa menit yang lalu memaki lelaki itu, berprasangka buruk, bahkan melemparnya dengan kaleng.

Jungkook membungkuk untuk mengambil kaleng dilantai kemudian memasukkannya kedalam tempat sampah. "Tidak apa-apa. Aku tidak mungkin bangun kalau kaleng terbang itu tidak mengenaiku."

Yein tersenyum malu. Air matanya memaksa ingin keluar. Bukan karena rasa jengkel ataupun kecewa lagi, melainkan rasa senang dan rasa bersalah yang campur aduk.

"Sunbae, boleh aku minta nomormu?"


***


Selama perjalanan, Yein berkali-kali dibuat kagum oleh sikap gentle Jungkook. Misalnya Jungkook yang menyerahkan kursinya pada seorang nenek. Bahkan nenek itu memuji sikap baik 'pacar' Yein. Kan Yein malu-malu sendiri jadinya. Jungkook bahkan tidak keberatan si nenek menganggap mereka pacaran. Jungkook juga melindungi Yein dari desak-deskan penumpang saat Yein berdiri setelah memberikan kursinya pada ibu hamil.

Sekitar satu setengah jam, mereka akhirnya tiba di stasiun bandara Incheon. Cukup lama karena kereta harus transit di beberapa stasiun. Rumah Yein pun tak jauh dari bandara Incheon.

Dengan menggunakan bus mereka tiba di rumah Yein. Sebenarnya jalan kaki pun bisa dengan hanya melewati dua halte. Tapi karena cahaya matahari sangat terik membuat siapa saja enggan untuk berjalan kaki. Jam dua belas siang mereka tiba di rumah Yein.

Sebelumnya, Yein sudah mengabari kedua orang tua tentang Jungkook. Ia menceritakan dengan jujur. Karenanya, tak heran sang ibu menyambut Jungkook dengan sangat baik.

"Yein juga punya kakak yang seumuran denganmu. Sayangnya dia sudah meninggal setahun yang lalu." Ucap ibu Yein. Beliau menyendok nasi kedalam piring Jungkook. Saat ini mereka tengah makan siang bersama.

"Turut berduka cita, Bi." Ucap Jungkook. Ia tersenyum tipis pada ayah Yein yang menatapnya dengan penuh selidik.

"Setelah makan siang, kita harus mengobrol singkat, nak." Ucap ayah Yein.


***


Yein melangkah kesana-kemari dengan gelisah dibalik dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Sedari tadi ia menggigiti kuku jari telunjuk sembari menyimak pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang ayah pada Jungkook.

"Kenapa kau melamar anakku?"

"Karena aku-"

"Yein-ah, ngapain kamu nemplok-nemplok di dinding?" Suara sang ibu mengejutkan Yein. Saking penasaran, Yein sampai tak sadar sudah mendekatkan telinga pada dinding dengan pose yang gak banget. Seperti cicak di dinding.

"Aduh, eomma ganggu saja." omel Yein yang kembali melakukan aktivitasnya. Menguping.

"-Begitulah, Paman."

Sayang sekali Yein tak bisa mendengar jawaban Jungkook atas pertanyaan yang selama ini menghatuinya setiap malam seminggu terakhir. Ingin sekali mengomeli sang ibu yang mengganggunya kalau saja Yein tidak ingat tentang istilah 'anak durhaka'.

Ibu Yein menarik lengan sang anak dan menyuruhnya duduk di sofa depan televisi. "Yein-ah, eomma penasaran sekali dengan lelaki itu."

"Eomma saja penasaran, apa lagi aku kan?" ucap Yein.

"Tapi benar kalian tak pernah mengobrol sebelumnya? Misalnya rekan satu kepanitiaan atau kenal dengan temannya?"

"Tidak, eomma. Jangankan mengobrol, berpapasan di kampus aja tidak pernah. Aku mengenalnya karena namanya sering diagung-agungkan teman sekelasku. Aku juga tidak kenal dengan temannya. Kami bahkan beda jurusan. Dia jurusan arsitektur dan gedungnya pun jauh dari gedungku." Jelas Yein terlalu bersemangat. Sedikit menyombongkan diri perihal dirinya yang biasa-biasa saja pun dikenal si senior famous.

"Lalu bagaimana dia tahu tentangmu sampai berani melamar disaat kalian bahkan tak saling kenal?" heran sang Ibu. Sebenarnya ia sangat curiga pada Jungkook sebelum bertemu dengannya secara langsung. Tapi setelah tahu paras Jungkook bak idol favoritnya, ia pun sangat mendukung kalau anak gadisnya di pinang.

"Aku juga tidak tahu." Jawab Yein.

Sang ibu merangkul anaknya kemudian mengusap bahunya pelan. "Eomma jadi memikirkan kakakmu. Kalau dia masih ada, pasti tingginya seperti Jungkook dan tentunya lebih tampan kan? Kira-kira bagaimana reaksinya melihat adik kesayangannya melangkahinya? Pasti dia akan jadi yang pertama mengintrogasi Jungkook. Dia kan posesif banget sama kamu."

"Duh, eomma jahat. Aku jadi rindu, Oppa kan."


***

TBC

JEON : May I Marry You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang