Secret Between Us

16 7 3
                                    

Satu tahun berlalu...

Evan dan Anna duduk bersampingan di kursi tunggu bandara. Mereka mengobrol seperti biasa, membicarakan tentang apa yang terjadi saat di sekolah. Ada saat tertentu Evan tersenyum menanggapi berbagai cerita yang dikatakan adiknya. Mulai dari teman kelas Anna yang selalu menitipkan hadiah untuk kakaknya, tapi tak pernah mau menerima. Menunggu cukup lama di bandara membuat ia mengantuk.

“Kakak?”

“Hm.”

“Aku mengantuk.”

“Tidurlah, kalau ayah sampai aku akan membangunkanmu.”

“Baiklah.”

Ia tidur bersandar di bahu lebar kakaknya. Evan membuka hpnya sebentar untuk mengecek aplikasi line yang terus berbunyi menandakan adanya pesan masuk. Ia hanya membuka grup kelas untuk melihat ada tugas tambahan atau tidak. Ia segera menghapus pesan tidak penting yang mayoritas berasal dari perempuan terkecuali adiknya.

Menunggu ayahnya sampai membuatnya ikut mengantuk, ia pun terlelap.

Tak lama kemudian smartphone miliknya bergetar, tanda ada telepon masuk.

📞Daddy is calling...

Ia menggeser tombol hijau.

“Ayah sudah di pintu arrival, kemarilah!”

“Tidak bisa ayah, Anna tertidur. Aku tak ingin membangunkannya.”

“Baiklah, kau dan Anna ada dimana?”

“Lounge.” Gerald muncul dari pintu mendatangi mereka dengan dua orang di belakangnya. Evan segera memeluk ayahnya.

Dua orang itu membawakan koper Gerald, menuju ke mobilnya. “Sebaiknya kau bangunkan Anna.” Ucap ayahnya.

“Aku akan menggendongnya.”
Evan berbisik di telinga adiknya, “kau berat Anna.”

▶▶▶

Mereka sarapan bersama pagi ini. Anna terlihat ceria makan bersama keluarganya. Gerald menatapnya dan tersenyum, “Ayah punya sesuatu untukmu.”

“Apa ayah?” tanya Anna dengan mata berbinar.

Gerald merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kalung perak dengan gantungan bintang kecil. Anna sangat menyukainya. Ayahnya memasangkan kalung tersebut di lehernya.

Tak sengaja, ia melihat bekas luka pukulan baru di bahunya.

Gerald menatap tajam pada anak lelakinya, “Kita sudah membicarakan ini sebelumnya.” Evan menatapnya tak mengerti.

Tiba-tiba Gerald menggebrak meja makan, membuat semua orang yang berada di sana terkejut. “Kau sudah berjanji, Evan!” bentak Gerald tepat di depannya. Gerald langsung menarik lengan bajunya dan menyeretnya ke ruang kerja.

“Jangan ayah! ini bukan salah kakak!” teriak Anna sambil menarik lengan ayahnya.

Evan menatapnya dingin lantas berucap, “singkirkan tangan kotormu atau aku akan memukulmu lagi!” nada penuh ancaman keluar dari mulutnya.

Gerald semakin menarik Evan kasar.

Anna masih berdiri terpaku mendengar ucapan kakaknya. Kalungnya jatuh begitu saja.

Setelahnya ia mendengar teriakan kesakitan kakaknya dari ruang kerja ayahnya. Ia pun berlari menuju suara tersebut dan mengintipnya. Betapa terkejut ia melihat ayahnya memukul kakaknya menggunakan tongkat golf hingga ada darah menetes di sana.

Anna menggigit bibirnya menahan tangis dan berlari ke meja makan. Seketika ia merasakan perih di kepalanya karena tarikan kasar perempuan di belakangnya.
Perempuan itu adalah ibunya.

“Kau senang melihatnya tersiksa seperti itu! Ha!”

“Kau memang anak sialan.” ia melepas tarikannya dan membuat Anna jatuh ke lantai.

Ibunya melenggang pergi begitu saja.

Anna mengurung diri di kamar menunggu kakaknya. Ia merasakan ketakutan luar biasa mengingat kejadian di ruang kerja ayahnya dan perlakuan kasar ibunya setiap ia melakukan kesalahan.

Hingga pintu terbuka dan menampakkan sosok kakaknya yang penampilannya berantakan dan sedikit ada darah di keningnya.

Anna berlari menghampirinya dan memeluknya tetapi Evan segera menepisnya. Membuat ia berpikir apakah kakak marah padaku? Evan menatapnya sekilas dan berlalu menuju kamar mandi.

Tak selang beberapa lama ia duduk di ujung kasurnya, hingga ia mendengar ketukan pintu dari luar kamar.
Rupanya ayahnya yang mengetuk pintu tersebut. Ia menghampiri Anna.

“Boleh ayah bicara denganmu, Anna?”

“Tentu saja, ayah.”

“Ayah ingin kamu berkata jujur.”

“Baik.”

“Saat kamu di rawat, dokter bilang selain luka yang disebabkan temanmu ada banyak luka bekas pukulan. Apa Evan yang melakukannya?”

Anna menggigit bibir bawahnya. Ia bingung harus menjawab apa.

“Bukan.”

“Lalu siapa?” ayahnya memijit pangkal hidungnya merasa pusing.

Ayahnya berdecak, “Ayah ingin kamu jujur, siapa yang memukulmu saat ayah tidak di rumah?”

Anna terkejut mendengar ucapan ayahnya. Evan masih belum keluar dari kamar mandi, membuat Anna bimbang menjawab pertanyaan ayahnya. Ia pun menghela napas dan menjawab, “yang memukulku adalah I-”

“Anna.” Ucapannya terpotong oleh panggilan kakaknya. Anna otomatis menoleh ke arahnya.

Ia pun meneruskan ucapannya, “kemarin teman sekolahku yang memukulku bukan kakak.”

Gerald ikut menatap ke arah Evan, ia merasa ada sesuatu yang ditutupi keduanya.

“Baiklah ayah mengerti.” Ucap Gerald melenggang keluar.

Evan langsung menghampiri adiknya. Masih dengan rambutnya yang basah, ia melangkah pelan.
“Sudah ku bilang, katakan saja bahwa aku yang memukulmu.”

“Aku tidak ingin ayah melukaimu.” Anna menunduk dan meneteskan air matanya.

“Besok ayah pasti akan datang ke sekolah, akan ku urus.”

“Bagaimana dengan ibu?”

“Apa maksudmu?”

“Dia yang memukulku.”

“Anna,” Evan memeluk adiknya dan mencium keningnya lama.

Ssstt..
.. Ini rahasia kita berdua.”[]

The BreathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang