Tangan Tuhan dalam Hujan

74 5 0
                                    

Hujan menumbuhkan kesadaran. Hujan menumbuhkan kepedihan di keningnya. Entah gemericik atau rintih yang berkeliaran di jalan itu.

"Rangin, bajumu basah, matamu juga. Kenapa?"

"Aina, pertanyaanmu akan kujawab setelah gigil tubuhku hilang dalam segelas kopi."

"Sebentar, Rangin. Aku bawakan handuk dan kopi untukmu."

Seharusnya ia yang ada di belakangku, menyanyikan lagu kesukaannya dan sama-sama melebur dingin. Hujan kali ini berbeda, bukan hanya air yang jatuh, namun kenangan yang menguarkan kesakitan. Pelukmu melingkar di tubuh yang lain.

"Kau tidak pernah nurut padaku, kau memang keras kepala."

"Aku hanya memperjuangan apa yang dibisikan hatiku."

"Apapun yang kau rasakan, harus kau pikirkan. Apapun yang kau pikirkan, harus kau rasakan."

Aina benar, aku memang keras kepala, bahkan aku berani melawan tangan Tuhan yang berulangkali menampar pipiku dengan rintik hujan. Malam yang senyap, tidak ada siapa-siapa di jok belakang, kecuali kenangan yang tertinggal, yang tidak berani aku pungut, bahkan aku lirik sekalipun. Firman Tuhan terpleset hingga bunyinya terdengar berbeda; nikmat sakit mana yang kau dustakan.

"Aina, hujan di luar mulai reda, matamu jangan sampai menyumbang hujan lagi."

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu."

"Perasaanku masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Justru malah bertambah."

"Maksudmu?"

"Perasaanku tidak berubah, hanya ditambah sakit saja. Dan semakin hari, kesakitan itu yang bertambah."

Aina tahu, segelas kopi tidak cukup bagiku malam ini. Dingin yang terlalu kuat, menusuk-nusuk uratku.

"Menusuk hatimu juga."

"Aina, kan giliran aku yang bercerita, kau jangan dulu mencampurinya."

Nikmat sakit mana yang kau dustakan, firman yang terpleset itu rasanya pas sekali di telingaku malam ini. Aku tidak akan pernah tersesat mencari jalan menuju rumahmu; pertigaan, suara katak, dan tukang delman. Hujan semakin deras, aku serasa berkendara dalam kulkas, dingin kali ini sangat buas. Dengar, dengarlah suara knalpotku yang cemburu.

"Kau, tidak boleh seperti itu."

"Itu bukan aku, saat itu aku tidak mengenali diriku sendiri."

Dua orang berteduh di ujung mataku, dan aku masih berjuang melawan gigil di tengah serbuan hujan, melawan sakit yang mengurung semua kenangan. Tangan Tuhan kembali menamparku. Sadar, sadarlah, tapi aku tidak kunjung sadar.

"Kau mirip orang gila yang baru keluar dari rumah sakit jiwa."

"Aku setuju buat kalimat itu."

Aku berusaha mendengarkan percakapan mereka saat berkendara, meski samar-samar, bahkan tidak terdengar, tapi aku terus berusaha menerka-nerka--sedang aku berkendara di belakang mereka sebagai kenang yang tak pantas dilirik lagi.

"Sudah cukup, Rangin."

Ada payungnya di ranselku, aku ingin berkata, ayo pulanglah bersamaku, aku simpan motorku di toko itu, kita naik angkot lagi ke rumahmu, kita berjalan sambil mendengar suara anjing menyalak dengan cemburu. Dan sekarang anjingnya itu adalah aku.

"Sudah cukup, Rangin!"

Nanti kalau sudah sampai di rumahmu, seduhkan aku kopi tanpa diaduk, kita bercerita lagi tentang rumah masa depan. Aku lupa waktu, aku lupa pulang pada ingatanku, aku lupa bukan siapa-siapa lagi di matamu.

"Aku bilang sudah cukup! Cukup Rangin!"

Aku berusaha menyangkal kenyataan yang hadir di depanku, itu bukan dia yang kukenal dulu, aku pergi menuju rumahnya. Dia pasti sedang membaca puisi-puisiku, membaca laporan yang kubuat dulu. Aku perlahan mengetuk pintunya, ibunya keluar dan ia memang belum pulang. Aku kembalikan payung miliknya, hujan masih lebat, ibunya terdengar cemas mendengarku akan pulang kembali, pulang pada kesakitanku lagi.

"Rangin, aku mohon cukup..."

Aku pulang dengan perasaan yang sama, berharap bisa berpapasan dengannya. Dan Tuhan menamparku lebih keras lagi, mukaku merah, mataku juga tak kalah merah. Jalanan lengang, aku berkendara menembus gelap, seperti menembus lubang waktu dimana kau masih bersamaku; tersenyum sambil bercermin di kaca spionku. Tidak ada yang melihat kita, kecuali Tuhan yang kembali menamparku dengan kekuatan penuhnya. 

"Aku sudah bilang cukup Rangin, aku yakin kau menangis bukan?"

"Tidak, aku tidak tahu, helmku tidak pakai kaca, hujan dan kesedihan sama derasnya."

Setelah itu...

"Rangin sudah, aku akan pergi bila kau meneruskan ceritamu."

Setelah itu Tuhan memelukku, aku dalam kepasrahan yang tinggi, kendaraanku seperti mengudara menuju langitnya. Tangan Tuhan memegang stang stir motorku, aku tidak sadarkan diri.

"Aku tahu kau tidak bisa menyakiti orang lain. Makanya kau menyakiti dirimu sendiri. Aku hanya ingin bilang sudah cukup, sudah cukup Rangin."

"Kau jangan menangis, Aina."

"Aku sekarang tahu begitu keras kepalanya kau mencintai seseorang."

Di luar, hujan kembali menderas, tidak mau kalah keras dengan kepalaku. Tangan Tuhan terbuka sebagai rahmat. Terimakasih atas tamparan dan pelukanmu. Benar kata Jokpin, hujan selalu melahirkan pelukan-pelukan berbahaya.

"Sudah, Rangin. Sebentar lagi reda, pulang dan istirahatlah sebelum kau benar-benar gila."


Cianjur, 2019

PROPAGANDA HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang