Doyoung menatap dua garis merah yang tertera jelas di testpack yang dia gunakan pagi ini.
Hamil.
Itu sudah jelas.
Matanya berkunang, merasakan tekanan yang melanda perutnya semakin besar lalu pada akhirnya mual. Dia bersandar lemas pada wastafel, mencoba kuat untuk tidak menangis.
Dengan gontai, ia melangkah ke atas kasur, menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan. Kepalanya berputar cepat, menyusun berbagai rencana yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dia dan bayinya.
Pindah dari Seoul, itu sudah jelas. Biaya hidup di kota ini terlalu mahal untuk ukuran pegawai biasa seperti dirinya. Dan yang kedua tentu saja merahasiakan ini dari ayah sang bayi.
Dia hanya tidak ingin menjadi pembawa bencana bagi orang lain.
Karena ayah dari bayi yang dia kandung telah memiliki keluarganya sendiri.
***
Kening Jeon Wonwoo mengerut heran saat salah satu pegawai dari divisi pemasaran mengajukan surat pemutusan kontrak. Yang dia tahu, Kim Doyoung adalah orang yang jujur dan tidak pernah bermasalah dengan orang-orang di kantor, kenapa pemuda yang akhir-akhir ini tampak pucat mengajukan surat pengunduran diri.
"Kau sudah yakin dengan keputusanmu, Kim Doyoung-ssi?"
Kepalanya mengangguk kecil, "Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Jeon Wonwoo-ssi."
Wonwoo menghela napas, kemudian mengeluarkan surat resign yang ditanda tangani langsung olehnya dan juga presdir dari tempatnya bekerja. Dengan berat memberikan kertas itu pada Kim Doyoung yang langsung diterima dengan mata berbinar.
"Terima kasih banyak," katanya, kemudian pamit untuk membereskan barang-barangnya yang masih tersisa.
***
Kereta bandara yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan konstan, kepalanya bersandar pada jendela, menatap pemandangan Seoul dari balik kaca bening.
Sedikit banyak menyesali keputusannya. Namun, dia tidak boleh berhenti. Hidupnya pasti akan baik-baik saja setelah ini. Tangannya mengelus permukaan perutnya yang masih rata, sebuah nyawa berusaha tumbuh di dalam sana dan darinya dia memperoleh kekuatan lebih untuk bertahan.
Hiruk pikuk bandara menyambutnya, dengan tangan menarik koper, dia melangkah ke terminal keberangkatan luar negeri.
Jepang adalah negara yang dia tuju. Tidak ada yang dia kenal di sana dan kemungkinan ada orang yang mengenalnya adalah nol persen.
Dia menghembuskan napas panjang, menatap dataran Korea dari ketinggian seribu kaki di atas langit, melambai dengan gemetar.
"Selamat tinggal tanah kelahiranku," bisiknya parau.
***
makasih ya kak dian, yun, dhania, ikki, kak shilla dan yang tadi panik gegara akunku lenyap :") makasih udah bikin aku semangat lagi. love y'all <3
buat Rei juga, makasih yaa bantuannyaa^^