Itu batang rokok terakhirnya ketika ia sadar bahwa saat ini sudah waktunya untuk tampil, puntung rokok itu segera ia matikan di dalam asbak yang ada di depannya. Dengan langkah pasti ia berjalan melewati lorong yang gelap menuju cahaya terang di ujungnya, terlihat semua orang duduk menikmati santapannya seraya bercengkrama dengan orang di sekitar mereka tanpa memperhatikan pemuda itu masuk sama sekali. Pemuda itu kemudian duduk di kursi dengan sebuah gitar yang sudah berdiri disamping kursi tersebut, terlihat sibuk ia mempersiapkan berbagai peralatan dan dengan sigap mencolok kabel di bawah gitarnya lalu memastikan pedal gitarnya sudah terpasang dengan baik, sedikit pemanasan ia lakukan dengan menarik nafas dan melihat cahaya lampu di langit-langit untuk menenangkan pikirannya, setelah dirasa siap pemuda itu mengambil nafas panjang dan berkata,
"Selamat malam semuanya! Saya Ega Pratama Lazuardi dan ijinkan saya malam ini mengiringi makan malam kalian semua disini."
Tanpa basa-basi lagi, petikan gitar itu mengalun pasti dengan nada-nada minor yang menenangkan, menarik beberapa pasang mata untuk mengalihkan perhatiannya kepada penampilan Ega, emosinya mengalir melalui jari-jari dan suaranya dan memenuhi ruangan cafe itu dengan energi yang menghanyutkan siapa pun yang mendengarnya, perhatian dan pandangan orang semakin banyak tertuju pada Ega dan kondisi itu tentu saja menciptakan pertukaran energi yang sangat besar yang kemudian seolah energi itu merasuki sekujur tubuh Ega dan dia pun tenggelam dalam penampilannya disertai gelombang getaran yang terus terpompa menuju seluruh tubuhnya terutama di bagian belakang leher dan kepalanya.
Terdengar tangisan haru pecah disertai genangan darah yang mengalir membanjiri aspal yang panas di tengah siang yang terik, teriakan pilu seorang bocah yang memekikan telinga kemudian memudar dan beralih menjadi cahaya putih menyilaukan mata yang kemudian disadarkan oleh suara riuh tepuk tangan pengunjung cafe yang terlihat sangat menikmati penampilan Ega. Sisa adrenalin itu masih mengalir di sistem peredaran darahnya dan membuat jantungnya berdegup kencang, namun perasaan ini bukan berasal dari penampilannya, tapi dari sebuah kilasan kejadian yang baru saja dilihatnya. Tangannya gemetar dan Ega masih mencoba mengatur ritme nafasnya sambil mempertanyakan apa yang barusan terjadi? Namun ia tetap tidak bisa mendapatkan jawabannya.
Penampilan Ega malam itu pun ditutup dengan lagu terakhirnya yang diakhiri apresiasi yang kurang meriah dibanding lagu-lagu sebelumnya karena para pengunjung cafe tersebut sudah mulai surut, pegawai cafe itu juga terlihat sedang membereskan beberapa meja dan kursi serta membawa tumpukan piring kotor ke belakang.
"Kenapa ngga diseriusin aja sih?" sambut Beno, seorang barista cafe tersebut yang juga sudah sangat mengenal Ega.
"Ahh elo Ben, ngga pede gua... lagian ngamen gini juga cuma buat sampingan aja, kan lo tau sendiri kerjaan gua, ini sekedar hobi aja buat ngilangin stres."
"Tapi lagu-lagu lo asik, kali. Coba aja dulu rekam semua lagu lo terus jadiin album, gua yakin pasti laku kok. Lagian mau sampai kapan lo jadi tukang jaga toko buku?"
"Gila lo! Yang bener aja Ben, duit darimana gua bikin album? Udah lap dulu noh mesin kopi lo.." Ega selesai membereskan gitar dan semua perlengkapannya dan bergegas pergi.
"Ehh mau kemana lo?! Ngopi dulu lah!"
"Ngga ahh.. bisa melek semaleman gua nanti, malem ini gua mau tidur cepet, besok pagi kerja lagi... salam buat boss lo."
"Yeee.. kambing!"
***
Braga memang tidak pernah sepi, kawasan itu sudah menjadi pusat hiburan kota Bandung yang selalu ramai sejak dulu biarpun beberapa tahun belakangan ini sudah diterapkan aturan jam malam yang tentu membatasi tempat hiburan malam hanya boleh buka hingga pukul duabelas malam, jelas saja peraturan ini membatasi pergerakan Braga beserta puluhan ribu warga Bandung yang menggantungkan hidupnya pada malam hari, namun aturan ini sepertinya tidak sepenuhnya membuat Braga menyerah untuk menghibur hati para orang-orang yang berharap keresahan dan lelahnya sirna seiring satu malam yang seolah dilupakan itu berakhir.
YOU ARE READING
Seikat gerimis yang mengakhiri sore kala itu
عاطفيةSeorang pemuda yang terjebak pada masa lalunya disadarkan oleh mimpi aneh di setiap malamnya tentang seorang anak laki-laki yang dipaksa menikahi gadis kecil berandalan yang baru ditemuinya, sebuah obsesi aneh itu belum cukup karena gadis kecil itu...