Ch. 4

1.1K 125 6
                                    

Wonwoo bangun saat pagi-pagi buta di hari Senin. Diluar masih gelap dan matahari belum menampakkan sinarnya, atau malah bintang-bintang masih bersinar, memerangkap bayangannya di dalam kamar. Dia merasakan sebuah lengan mengunci pergerakannya dan dengan perlahan melepasnya. Mingyu tidak bergerak sedikitpun, dia selalu tertidur dengan nyenyak dan damai sehingga Wonwoo tidak pernah khawatir akan membangunkannya tiap kali dia yang bangun terlebih dahulu. Dia memasang kembali kausnya dan mencari peralatannya di dalam laci. Akhir-akhir ini dia selalu bersama Mingyu sehingga gambar-gambarnya yang belum selesai seperti tersisihkan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menyelesaikannya hari ini, dia bertekad untuk menyelesaikannya.

Perlahan, Wonwoo menguap, matahari mulai menampakkan sinarnya. Ruangan itu perlahan dilingkupi sinar matahari, dan dia mengagumi bagaimana barang-barang di sekelilingnya mulai menampakkan warnanya. Terlebih gumpalan besar yang berada di tempat tidurnya. Dia tersenyum pada sosok yang masih tertidur diatas bantalnya, bibirnya sedikit terbuka dan matanya tertutup dengan nyaman. Tidak ada gurat apapun pada wajahnya seakan tidak ada apapun yang mengganggu pikirannya. Wonwoo menjatuhkan pensil pada kaki tempat tidur dan meregangkan tungkainya. Dia selesai dengan lukisannya, dan bisa dikatakan dia melakukannya dengan baik. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menunjukkannya pada Mingyu, suatu hari nanti.

-0-

Hari itu berjalan seperti biasanya. Selain keberadaan mereka sendiri tidak ada yang spesial, seperti akan ada sesuatu yang datang tiba-tiba atau apapun. Itulah yang dirasakan Wonwoo.

Dia dengan malas membawa tubuhnya ke sofa di sore itu, cukup jauh dari lengan Mingyu, dia mengangkat telepon yang terus-menerus berbunyi di sisi lain ruangan. Dia benar-benar tidak berharap bahwa itu adalah ibunya, tapi tak ada orang lain lagi selain ibunya.

"Halo." suaranya serak dan malas-malasan.

"Wonwoo-ya!" sambutan hangat datang dari sisi lain telepon.

"Jun-junhui?" kedua mata Wonwoo membola sesaat dia mengingat suara itu. Dia benar-benar merindukannya.

"Iya!" dia bahkan bisa merasakannya tengah tersenyum. Ada kehangatan yang tiba-tiba melingkupi hatinya, seperti dorongan kenangan dan emosi menghinggapinya.

"Bagaimana kabarmu?" dia mendengar suara Junhui dari seberang dan Wonwoo kembali sadar.

"Oh, aku baik." Wonwoo menjawab dengan cepat. "Bagaimana denganmu? Apa kau menelepon dari negara lain? Kau tidak memberiku kabar setelah terakhir kalinya kita mengobrol." gerutunya. Dia tidak peduli. Dia menyalahkan Junhui karena meninggalkannya sendiri.

"Maaf, maaf. Aku sudah mencoba menghubungimu tapi sekolahku disini benar-benar menelanku. Aku ingin mengirimimu pesan tapi kurasa itu tidak cukup jadi aku mengirimimu surat tiap minggu tapi akhirnya aku selalu lupa melakukannya. Aku benar-benar minta maaf! Selama di China aku baik-baik saja, tapi coba tebak?" pemuda yang lebih tua berbicara tanpa henti dan berhenti dengan nada gembira.

"Apa?" Wonwoo menjawab, mulai tertarik dengan obrolan itu.

"Aku baru saja kembali! Aku kembali! Sebenarnya aku masih di bandara dan orang pertama yang kutelepon adalah dirimu. Bukankah itu spesial?" Junhui tertawa dan Wonwoo merasa sesak pada dadanya, betapa dia merindukan Junhui.

"Ngomong-ngomong! Apa kamar ibumu masih kosong? Ingat saat kau memintaku pindah kesana dan bukannya ke China?" Junhui tertawa semakin keras kali ini. "Well, aku masih bisa memanfaatkan penawaran itu kan? Atau kau sudah menemukan orang lain?" dia menambahi dengan candaan.

Sesak pada dada Wonwoo semakin terasa, dan kali ini bukan perasaan yang bagus. Dia melihat ke belakangnya, dan dilihatnya Mingyu tengah mengganti-ganti saluran televisi. Mingyu merasa Wonwoo melihatnya sehingga dia memandang ke arah pemuda yang lebih tua dan memberinya senyuman.

Overlapping Worlds 「meanie」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang