Salah Sangka

31 5 0
                                    

Semenjak pulang dari New York untuk Grand Opening restoran seafood milik tunanganku Dika, yang dibantu oleh Erika. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk, jadwal padat, kerjaan menumpuk di kantor, rumah tidak terurus. Terlebih aku sangat stress dengan perubahan tingkah laku Dika yang drastis. Saat aku pulang kerja dan sengaja membawa 2 bungkus nasi goreng langganan ke apartemen Dika di sudut kota Jakarta, betapa rasanya sangat ingin copot mataku ini, jelas sekali kalau aku melihat Dika tengah bermesraan dengan Eri sahabatku sendiri. Shock, sakit, perih, benci bergantian menguasaiku. Benar-benar sebuah pemandangan yang ingin membuatku muntah.

Pengkhianat!

Saat aku pergi dari tempat busuk itu, tidak ada salah satu dari mereka yang mencoba menahanku. Apalah daya, aku pun tak sanggup lagi melihat dua wajah pengkhianat itu!

.....

Sejak kejadian itu, aku merasa tidak nyaman dengan kondisiku sekarang ini. Aku sering terjaga tengah malam karena mimpi buruk. Terlebih beberapa hari ini telepon rumah berdering keras menggema ke seluruh ruangan di malam hari. Kurasa orang diujung sana tidak punya adap dan sopan santun, dia pasti tahu jika kini pinggiran Kota Jakarta tengah terlelap nyaman dengan belaian angin malam. Jam 01:00, masih terlalu pagi untuk ku terbangun dan menanggapi panggilan yang kurasa itu hanyalah iseng. Dan yah! Beberapa menit kemudian panggilan yang diulang-ulang selama 3 kali itu diam seketika, kurasa si penelfon mulai sadar jika panggilanya itu diacuhkan.

Kenapa aku menyebutnya iseng? Hal itu sudah terulang beberapa kali di jam yang sama sejak beberapa hari lalu. Awalnya aku takut karena banyak cerita mitos yang kudengar tentang teror hantu yang menelfon pada tengah malam. Tapi, temanku bilang dia pernah mengalami hal yang sama, dan saat diselidiki, panggilan itu hanyalan kelakuan orang iseng yang membuang waktunya untuk meneror orang lain lewat jaringan telefon. Kukira orang bodoh itu sudah ditangkap karena banyak meresahkan, mungkin saja ini kelakuan antek-antek nya.

Hari keempat semenjak panggilan itu dimulai, hal itu terus terualang kembali. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan hal ini, sudah mencoba lapor pada kepolisian tapi mereka hanya bilang 'segera kami selidiki' tanpa ku tahu perkembangan lebih lanjut.

'Ayolah telefon iseng itu benar-benar menganggu!'

Kriiiing... Kriiiing... Kriiing

Dan tepat jam 01:00, terulang lagi di jam yang sama. 2 kali, 3 kali, 4 kali. Biasanya panggilan itu akan berhenti ketika sudah mencapai angka 3. Ternyata peneror ulung ini tidak kenal ampun. Aku dengan terpaksa turun dari ranjangku yang nyaman, berjalan gontai ke lantai bawah dan mencoba meraih gagang telepon yang masih berdering.

"Halo.. Halo! Din! Gila lo! Sudah berhari-hari gue telfon kenapa gak lo angkat?"

Betapa kencangnya degupan dijantungku saat aku dengan jelas mendengar suara sahabatku dari ujung telepon.

"Gimana kabar lo? Gue beberapa hari ini khawatir sama kesehatan lo, obat lo ketinggalan di sini nih! Obat apa sih ni? Penting gak? Lo gak minum minum lagi kan di Jakarta? Dika khawatir juga nih gara-gara lo ganti nomer ga bilang-bilang. Lo kan tau kita masih Grand Opening, kita gada waktu banyak buat cek keadaan lo"

"Ii... Ini siapa ya?"

"Yaelah Andin, ini gue Eri, sahabat lo. Wah parah ni anak!"

Pikiranku kalang kabut, detak jantungku semakin gak karuan. Suara Eri.. Itu benar-benar suara Eri kan? Entah kenapa suaranya terasa lebih horor dari pada kisah-kisah mitos itu.

"Andin? Halo ndin?"

"Ri, lo ada kembaran?"

Dia malah tertawa mendengar pertanyaanku. "Please deh Din, lo kenal gue sejak masih bocah, dan lo tau kan gue anak semata wayang,"

Aku duduk lemas. Gagang telfon yang belum sempat ditutup jatuh kelantai dengan keras. Rasanya sudut-sudut ruangan ini berputar-putar. Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku sudah meninggalkan obatku di tempat yang jauh.

"Ya Tuhan, lalu siapa dua mayat yang ku kubur itu?"

.....

EREBOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang