Pagi

764 66 8
                                    

Pagi ini. Pagi yg tidak berbeda dengan pagi lain yang telah lewat. Sebenarnya pagi ini hari minggu, sedikit spesial tentunya bagi kaum pelajar. Sayangnya gue mahasiswa yg sedang libur semester. Sudah 3 minggu gue libur. Bosen. Gue gak ngerasain spesialnya, setiap hari berasa minggu. Dan setiap malam berasa malam minggu. Gue kangen kalian wahai selasa, rabu, kamis, dan jumat... Gue Kangen...

Ehm.. mari kembali pada kenyataan dan meninggalkan keharuan gak jelas gue.

Gue hirup udara sejuk khas pedesaan. Astaga segar sekali. Gue merentangkan tangan ke atas dan sedikit berjinjit untuk sekedar memanaskan badan. Entah kenapa udara segar di sekitar gue mendadak berubah seperti bau bangkai tikus. Belakangan gue menyadari kalo bau itu bersumber dari ketek gue sendiri. Anjir.

Gue pandangi suasana sekitar. Mata gue menangkap Pak Narjo, tetangga depan rumah gue yg tengah bersiap melakukan aktifitas rutin pagi hari. Dengan berbekal sapu lidi di tangannya, gue bisa tebak apa yg akan Pak Narjo lakukan. Terbang naek sapu kaya Harry Potter. Haha bercanda, ya nyapu halaman lah. Abis itu baru terbang haha.

Tak lama kemudian Pak Narjo pun terbang, maaf, menyapu halaman rumahnya. Gue amati dengan seksama suara sapu lidi yg bergesekan dengan tanah. Khas sekali. Gue terlalu menghayati. Tanpa sadar kepala gue sudah terlalu dekat dengan sapu Pak Narjo. Sontak tetangga gue yg botak itu ketakutan dan mengira gue bocah cabul yg demen nontonin kolor bapak bapak. Oke, yang ini cuma lamunan gue sih.

Mata gue kembali berkeliling memandang. Meninggalkan Pak Narjo dan sapu lidinya. Memang suasana pedesaan tiada duanya. Sangat berbeda dengan kosan gue yg notabene berada di perkotaan. Gue ngeliat masih ada kupu kupu beterbangan, beberapa capung yg berlalu lalang, dan sapi berkaos yg sedang push up di lapangan. Tunggu tunggu. Ada yg salah dengan kalimat gue yg terakhir. Sapi berkaos? Segera gue pakai kacamata minus yg dari tadi gue bawa untuk memastikan. Eh tidak, itu Nitnot, temen gue. Maaf gue salah liat. Gue kira sapi. Perawakan Nitnot yg gemuk dan jarak pandang yg tidak ideal bagi penderita minus membuat gue salah menyimpulkan.

Gue segera memakai sendal dan bergegas menemui Nitnot. Gue penasaran. Tumben tumbenan dia olahraga. Biasanya jalan kaki 10 langkah ngeluhnya minta ampun. Sekalinya di paksa pas pulang langsung manggil 3 tukang pijit sekaligus.

Gue berjalan menuju lapangan. Tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 30 atau 40 meter. Gue sapa Pak Narjo yg sedari tadi menyapu halaman. Gue sedikit menahan tawa karena tiba tiba bayangan Pak Narjo terbang dengan sapu lidi kembali muncul di kepala gue.

"Mari pak" gue menyapa dengan nahan ketawa yang gue edit jadi senyum.

"Iya mari mas." Pak Narjo membalas sedikit ketus. Jangan jangan dia bisa baca pikiran gue.

Gue berusaha sedikit mencairkan suasana. Karena normalnya tegur sapa di desa tidak sependek ini. Gue takut dikira sombong, apalagi Pak Narjo juga tinggal persis di depan rumah gue.

"Udah lama pak nyapu disini?" anjir gue salah ngomong. Canggung dan reflek bego gue muncul di waktu yg salah.

Hening.

"Sudah 15 menit saya nyapu disini mas" jawab Pak Narjo yg entah disebut jujur atau polos.

"Oh saya kira sudah 15 hari hahaha" gue berusaha bercanda.

Hening.

Pak Narjo tak menanggapi. Tapi pandangannya gak beralih dari gue. Suasana makin canggung karena gue ketawa sendirian sambil di pelototin bapak bapak botak di depan rumah gue sendiri. Ingin rasanya gue sembur nih orang.

"Hahaha. Hahaha. Mari pak duluan, lanjutin aja nyapunya tanpa saya." entah apa yg keluar dari mulut gue. Yang penting gue bisa pergi.
.
.
.
.
Gue lanjut jalan ke lapangan...

.

.

.

.
Gue balik lagi kerumah. Sendal yg gue pake ternyata salah sebelah.

Dan gue harus ngelewatin Pak Narjo lagi. Pak Narjo masih memandang gue dengan lekat karena gue memang baru beberapa detik pergi dan beberapa detik kemudian balik. Gue pun masih ketawa basa basi. Di titik ini gue merasa dunia yg luas ini hanya tersisa dua makhkuk hidup. Gue dan Pak Narjo. Bangsat.

Canggung. Gue berusaha bersiul, tapi usaha gue malah membuat suasana makin aneh.

Hening.

Dan gue terdiam bingung di depan Pak Narjo sampai akhirnya Nitnot muncul....

Balada BaladoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang