Masih Panggilan Alam

417 27 3
                                    

Perut gue tiba tiba memberontak. Batu yg dari tadi gue kantongin udah gak berefek. Sedikit tapi banyak gue mulai ngerasain mules lagi. Gue jadi susah fokus. Yah walaupun dari dulu gue emang udah susah fokus sih, tapi yg ini jauh lebih susah. Susahnya tu kaya lagi masukin benang ke lubang jarum sambil naik banteng.

"Ya Salam! Mukamu kok pucet bener?" tanya Samsul tiba tiba.

"Batunya udah kadaluarsa Sam. Perutku mules"

"Lah? Mau tak carikan batu lagi?"

"Gak usah. Kantong celanaku gak bakal muat"

"Mau tak panggilin mbahku?" Samsul melontarkan pertanyaan polos setengah bego.

"Buat apa manggil mbahmu!" jawab gue spontan.

"Biar bantu milihin batu yang gak kadaluarsa. Ntar dituker sama yg di kantongmu"

"Edan koe. Mending aku panggil bapakku sendiri"

"Biar di jemput pulang?"

"Buat milihin batu. Bapakku kan dulu jualan akik"

"Jangan jangan bapakmu itu sebenernya mbahku?"

"Iya. Koe sebenernya juga tukang kebonku" jawab gue ketus. Gue bingung kenapa pembicaraan diantara kami jadi kemana mana. Padahal gue cuma mau satu hal, boker.

"Walah jangan bercanda to. Terus gimana? Ini kan masih jam pelajaran? Pulangnya juga masih lama" tanya Samsul.

Gue diem. Banyak ngomong malah semakin membuat perut gue mules. Mending gue konsentrasi penuh. Gue mulai mencari satu objek untuk membantu gue fokus. Gue memandang seisi kelas. Dan akhirnya ada sesuatu yg menarik perhatian gue. Panunya Jalu. Temen yg tempat duduknya tepat di depan gue.

Gue amati tengkuk si Jalu, sang pemilik panu. Warna panunya putih dengan corak abstrak. Gue amati lagi lebih teliti. Coraknya mirip botol teh sosro, memanjang vertikal dengan bagian bawah yg cenderung lebih lebar. Gue baru tau kalo selama ini Jalu mengidap penyakit panu kronis. "Jalu butuh di operasi plastik nih" pikir gue.

"Heh gimana? Kok malah diem. Jangan jangan koe udah..." tanya Samsul khawatir. Khawatir seisi kelas tewas kena efek brutal bau beracun yg muncul kalo gue berak di celana.

"Diem! Aku lagi konsentrasi" jawab gue, masih dengan tatapan kosong ke arah panunya jalu.

"Sabar kawanku. Badai pasti berlalu. Muda pasti tua. Hemat pangkal kaya!" Samsul berusaha memotivasi gue dengan kumpulan kalimat yg dia baca di majalah Bobo.

Gue masih diem. Pikiran gue udah kemana mana. Gue takut berak di celana. Gue takut celana gue bau. Gue takut di marahin ibu gue. Gue takut kena diabetes. Entah kenapa gue jadi takut dengan segala hal.

"Ayo anak anak. Apa yg sebaiknya kita lakukan sejak dini untuk investasi masa depan?" guru gue tiba tiba memberikan pertanyaan.

"Menabung bu" sekelas kompak menjawab.

"Boker!" jawab gue dalam hati.

"Pinter" puji guru gue "Lalu dimana tempat menabung yg baik dan aman?"

"Di bank bu" sekelas menyahut.

"Toilet" batin gue menyelisih. Pikiran gue hanya seputar boker.

"Bagus. Lalu mulai kapan sebaiknya kita membiasakan diri untuk menabung?" lanjut guru gue.

"SEKARANG!" sahut gue dengan semangat. Kali ini gue sependapat dengan suara mayoritas kelas. Gue menjawab keras dengan sepenuh jiwa dan raga. Seolah ini adalah jawaban yg gue cari selama ini.

Sekelas hening. Samsul yg di sebelah gue mangap terkaget.

Seisi kelas memandang gue. Gue terlalu berapi api. Ternyata tanpa sadar gue berdiri sambil mengepalkan tangan ke udara. Gue seperti pendukung gerakan menabung garis keras.

Balada BaladoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang