I Am You, You Are Me - 12

1.4K 336 24
                                    

Haidar dan Yelsi, dua sisi berbeda dalam satu koin yang sama. 

"Yels, what the fuck?!"

Seumur hidupnya, Yelsi tidak pernah melihat Haidar seperti ini. Wajahnya panik luar biasa, kedua manik hitamnya menatap sang adik kembar dengan nyalang dan dadanya naik turun terengah mengatur nafas. 

Yelsi tahu hari ini akan tiba, yang ia tidak tahu apakah ia siap atau tidak untuk menghadapinya.

"Head, what's up?"

"Lo drop kedokteran?!" Haidar bertanya dengan nada tinggi. "What the fuck, Yels?! Lo mikir nggak sih—"

Yelsi menggenggam erat pulpen di tangannya. Senyumnya perlahan mengembang, tapi bukan jenis yang muncul karena rasa senang. Senyum itu berbalut pedih. Dan juga ironi.

"Jadi lo udah tau..." 

"What do you expect? Lo bakal nyembunyiin ini dari gue? Sampe kapan? Sampe lulus?" Haidar mencecarnya dengan pertanyaan. "Honestly, Yels, what the fuck is going on?! Lo gila ya?!"

Yelsi bangkit dari meja belajar dengan serta-merta. Ia melangkah mendekati Haidar yang berdiri di ambang pintu kamarnya dan menatap kakak kembar delapan menitnya itu lurus di mata.

"Head, be honest with me. Lo seneng 'kan gue drop kedokteran?" tanyanya.

Haidar terdiam. Maniknya masih nyalang beradu dengan kedua mata Yelsi yang tajam, meski kini kedua bola mata hitam itu mulai memancarkan sedikit keraguan.

"Mother wouldn't be pleased—"

"Fuck mother." Yelsi memotongnya. "Gue nanya lo. Lo seneng 'kan gue drop kedokteran?" ia kemudian mengulang pertanyaannya.

"I... Just... Don't get it" Haidar menjawab dengan terbata. "Yels, lo selalu bilang lo pengen jadi dokter. Dari kecil lo selalu rebutan minjem stetoskop ayah sama gue..."

Kini, Yelsi tidak bisa menahan tawanya. Sebuah kekeh penuh ironi keluar dari mulutnya.

"Oke gue bakal jujur sama lo sekarang. Gue cuma seneng ngalahin lo. That's it. I love the competition, not the prize itself. I love watching your smart ass gets frustrated everytime I beat you in everything" Yelsi menjelaskan dengan intonasi yang anehnya terdengar tenang. "Lo tau kenapa?"

Haidar masih diam. Tidak tahu kemana sang adik kembar akan membawa pembicaraan ini.

"Karena hanya dengan ngalahin lo gue bisa dapet pengakuan dari Mama. Hanya dengan nyingkirin lo dari posisi nomor satu Mama bisa ngasih gue senyum bangganya yang biasanya cuma dia kasih ke lo." Yelsi menjawab pertanyaannya sendiri.

"Yels..."

"But you know what, Head?" ujar Yelsi melanjutkan kalimatnya. "I'm getting sick and tired of that. Sure, sekarang rata-rata gue lebih tinggi dari lo, dan sure dengan rata-rata segini practically kedokteran udah ada di tangan gue. But I lost something I don't think I can ever get back."

Haidar tercekat kala melihat kedua mata sang adik kembar kini menampakkan kekosongan yang mendalam. Ia kira dengan menjadi saudara kembar, ia bisa menjadi seseorang yang tahu tentang Yelsi lebih dari siapapun—termasuk orang tuanya. Mereka berbagi rahim, masa kecil, rumah, dan segalanya bersama; bagaimana hal ini bisa luput dari perhatiannya?

"I lost myself, Head"

"Yels... we can talk about it okay? Lo... Gue... Kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng. You don't have to do this... L-lo sama gue masih bisa masuk kedokteran bareng-bareng. There's still a written test"

"Head, dengerin gue." Yelsi mengulurkan tangannya untuk menggenggam bahu Haidar erat. "Becoming a doctor is your dream. Gue selalu inget gimana senengnya elo tiap kali Ayah cerita tentang pasien-pasien yang berhasil dia sembuhin. Gimana bahagianya lo pas Ayah kasih izin buat pegang stetoskopnya, pake jas putihnya... It's your dream, Head. Med school has always been yours, not mine"

Kala mendengarnya, Haidar bagai tersambar petir. Ini tidak seperti Yelsi yang ia kenal. Yelsi bukan seseorang yang dengan mudahnya mangkir dari pertandingan karena alasan sepele. Yelsi bukan seseorang yang gampang mengalah dan dikalahkan. Haidar tahu Yelsi dan segalanya, tapi ini, ini sama sekali bukan Yelsi yang ia kenal.

"Alright fine it's my dream." Haidar akhirnya berujar setelah keheningan yang cukup lama. "But what's yours, Yels? Apa mimpi lo? Kalau bukan jadi dokter, terus apa mimpi lo?"

Yelsi tercenung. Perlahan, tangan yang tadinya mencengkram erat bahu Haidar pun turun dan menggantung tanpa daya di kedua sisi tubuhnya. Yelsi membuang wajahnya, melarikan matanya ke manapun kecuali sepadang manik hitam di hadapannya.

"Yels, jawab gue. Kalau bukan kedokteran apa mimpi lo—"

"I don't know." Yelsi menjawab dengan cepat. Dingin. Datar. 

Haidar hendak membuka kembali mulutnya, namun Yelsi keburu melanjutkan kalimatnya.

"I don't know, Head. Okay? Yang gue tau sekarang adalah gue nggak mau lagi ngejadiin rumah ini arena pertarungan antara gue sama lo. This past 2 years has been a huge gain for me, but it also left me with a huge loss. Gue harus relain cheers demi ngalahin lo, did you know that? Gue harus relain satu-satunya hal yang bisa bikin gue bahagia hanya demi ngalahin lo dan dapet pengakuan dari Mama. Do you know how much it cost me?"

Haidar tercekat. Bukan hanya karena naiknya intonasi Yelsi tapi juga karena selapis air bening yang perlahan mengumpul di pelupuk mata sang adik kembar.

"And you. For years, I was forced to see you as a mere rival, an enemy. Head, we friggin shared a womb together, do you know how hard it is for me to do that?"

"But you don't have to"

"Yet I did!" Yelsi kini telah berteriak, meski sedetik kemudian ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk mengatur kembali emosinya.

Kedua kakak-beradik itu diam di tempat untuk beberapa saat. Yelsi masih berusaha mengatur nafas dan air mata yang sudah mendesak keluar dari pelupuknya, sementara Haidar tertunduk dengan kedua tangan terkepal menahan semua emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya.

Beragam kilas balik mulai merasuki benak keduanya. Masa kecil mereka, saat Yelsi kerap diam-diam meminjam stetoskop ayah untuk main dokter-dokteran bersama Haidar, saat mereka kerap berebut peran; siapa yang akan jadi dokter siapa yang akan jadi perawat, saat Yelsi membela Haidar ketika mereka ketahuan berbuat nakal, saat Haidar membalasnya di lain hari mereka kembali berbuat nakal, bagaimana senyum ceria Yelsi dan kuncir duanya, bagaimana rengek tangisan Haidar dan sifat sok tahunya.

Apa yang terjadi kini?

"You know what, Head, I'll just figure out my future on my own" Yelsi jadi pertama yang memecah keheningan ini. "Good luck getting the med school, it's practically yours right now. Nggak ada yang bisa nyaingin lo lagi 'kan selain gue?"

Sebuah senyuman, dan sebuah tepukan di bahu.

Haidar tahu adik kembarnya benar. Tidak ada lagi yang bisa menyainginya kini setelah Yelsi mengundurkan diri dari arena pertarungan. Ia sudah keluar sebagai pemenang, dan ia seharusnya merasa senang.

Namun, saat pintu kamar Yelsi kembali tertutup di depan wajahnya, Haidar tidak lagi merasakan apa-apa.

Ia hanya hampa.

***

A/N:

WE ALL LIE~~~ TELL YOU THE TRUTH~~~

I think I've been watching too much sky castle. Also, Yeji beneran mirip Hyunjin man, mind = blown. I can't stop thinking about this AUs (and some other ones too but let's save that for later) so I decided to make this series.

If you can't stop thinking about em just write the hell out of em. Right? RIGHT???

Nine to FiveWhere stories live. Discover now