Part1

793K 11.9K 346
                                    

Laki-laki tampan dan tinggi didepanku memandangiku dengan tatapan tajam. Sesuatu yang seharusnya sudah terbiasa kuhadapi. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ada perih dihatiku. Perasaan yang seharusnya aku tinggal mati beberapa tahun lalu.

********

Lidahku kelu saat berada berdiri didepan pintu sebuah rumah. Kepalaku berpikir, mencari alasan untuk segera pergi dari tempat ini. Tempat tinggal dari seseorang yang pernah menghancurkan hatiku.

"Kenapa harus kesini sih yah? Cinta mau pulang saja".

"Kamu bagaimana sih. Keluarga Hardiwijaya kan baik sama kita. Putra pertama mereka, Andra baru saja dapat musibah. Tunangannya baru saja meninggal karena kecelakaan. Sudah seharusnya kita menengok mereka walaupun sudah bukan tetangga lagi".

Meninggal, tunangannya laki-laki menyebalkan itu meninggal? sedih bukan, itu karma karena selalu menyakiti atau tepatnya membuly-ku. Gadis smp yang masih polos. Padahal usianya berbeda sepuluh tahun dariku. Tapi sikapnya tidak lebih dewasa dari teman-temanku yang seumuran. Hal buruk yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.

Pintu terbuka. "Eh bapak sama ibu Anwar. Loh ini Cinta? sudah besar ya, makin cantik saja. Ayo masuk". Tante Rina, ibu laki-laki itu mengajak kami masuk. Suasana rumah ini tidak ada yang berubah, dekorasi dan perabotannya masih sama. Dulu aku sering berkunjung ke rumah tempat laki-laki ini tinggal.

Pembicaraan ketiganya tidak terlalu kuperhatikan. Apa yang terjadi pada laki-laki itu bukan urusanku. Jangan berharap ada empati dariku.

"Itu Andra pulang". Tante Rina bangkit, melangkah ke pintu masuk. Cinta bego, ngapain sih harus deg-degan begini. Delapan tahun lebih kamu berjuang melupakannya, masa hancur dalam satu hari, omelku dalam hati. Debaran jantungku memang menjadi tidak beraturan hanya dengan berpikir akan kembali melihat sosok Andra.

Langkah itu semakin mendekat. "Andra, keluarga pak Anwar datang untuk menengokmu".

Ibu melirik ke arahku yang terlihat malas-malasan. Tenang Cinta, orang bilang waktu akan menghapus luka. Laki-laki didepanmu tidak lebih dari masa lalu tidak penting.

Bola mataku berputar kearah depan. Andra Hardiwijaya. Dia juga sedang menatapku dari ujung kaki sampai rambut. Ingin marah rasanya, mengingat pandangan yang sama pernah dia tunjukan beberapa tahun silam.

Waktu smp kelas dua, penampilanku jauh dari seperti sekarang. Mengingat saat itu sedang masa pubertas, badanku agak gemuk. Jerawat bagai jamur di musim hujan, hilang satu tumbuh seribu, dibagian depan wajah lagi. Belum lagi rambut yang tidak jelas modelnya. Jauh deh dari kata cantik atau setidaknya manis.

Aku berteman baik dengan adik bungsu laki-laki itu, Andara. Kudengar saat ini dia sedang kuliah diluar kota. Andara sering mengajakku main bahkan menginap dirumahnya. Ditambah kami bertetangga jadi cukup akrab. Padahal dia cukup populer disekolah tapi sikapnya baik, tidak pilih-pilih teman.

Dirumah inilah, aku bertemu Andra. Bukan cinta pertamaku tapi laki-laki yang berhasil membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Walau bisa dibilang cinta monyet mengingat umurku yang masih di bawah umur.

Menyukainya tidak lantas membuatku agresif mendekatinya. Di usiaku saat itu, hanya bisa melihat saja, senangnya bukan main. Diantara teman-teman Andara, secara fisik mungkin akulah yang paling tidak menarik. Belum lagi penampilanku yang kucel bin dekil.

Andra juga sering kedatangan teman-temannya. Mimpi buruk itu bermula saat Andara menyadari aku menyukai kakaknya. Dia suka menggodaku dengan menyampaikan salam dariku untuk kakak pertamanya. Teman-teman Andra yang akhirnya tau jadi sering meledekku terutama teman wanitanya.

Andara jadi tidak enak hati karenanya. Meskipun dia mencoba membelaku tetap saja hinaan itu tidak berhenti. Pernah juga aku dibohongi, kalau aku disuruh menunggu di sebuah mall oleh Andra untuk nonton bersama dia. Hasilnya bisa ditebak, aku dimarahi kedua orang tuaku karena pulang larut malam. Parahnya Andra sama sekali tidak muncul. Menyedihkan tapi meskipun begitu tetap saja aku masih tergila-gila pada laki-laki itu.

Hal yang membuatku semakin sedih, Andra ternyata sudah mempunyai kekasih. Cantik, pintar dan kaya. Kombinasi sempurna untuk pendamping laki-laki setampan dia. Pasangan serasi dan tidak ada yang meragukannya. Tidak tahan menjadi bahan ejekan, aku mundur perlahan. Mengurangi waktu bermain ke rumah Andara hingga akhirnya pindah ke kota lain saat masuk sma.

Rumahku yang kutinggali sebelumnya dikontrakan dan rencananya akan dijual. Kedua orang tuaku ingin tinggal di pedesaan setelah ayah pensiun nanti. Itu cita-cita mereka untuk hari tua. Aku sendiri, selepas kuliah berniat kembali dan bekerja di kota ini walau harus tinggal di tempat kos.

"Om ikut sedih atas kejadian yang menimpa tunanganmu. Kamu yang sabar ya". Ayah menepuk bahu laki-laki itu.

"Terima kasih om. Andra juga sudah ikhlas".

Ibu menyikut lenganku untuk kesekian kali, menyuruhku bicara meski sekedar basa-basi. "Yang sabar ya kak," ucapku mengulang kalimat terakhir ayah.

Andra hanya mengangguk. Tatapannya dingin seperti dulu. Aku sudah terbiasa derngan sikapnya, hal seperti itu tidak akan membuatku menangis seperti dulu.

Tante Rina memalingkan wajahnya padaku. Tersenyum lembut. "Kalau Cinta gimana? sudah punya pacar?".

Ibu tersenyum masam. "Yang deketin sih banyak mbak tapi yang dijadiin pacar hampir tidak ada. Bingung saya sama anak dia". Ini gara-gara Andra, setiap ada laki-laki yang berusaha mendekati pasti hanya kulayani sampai tahap pendekatan. Kalaupun dia menyatakan cinta, aku langsung menjauh.

Andra tampak acuh lalu pamit pada kami semua. Bayangannya menghilang ke arah taman belakang. Setahuku kamarnya memang tidak berada di bangunan utama, terpisah oleh taman belakang rumahnya yang cukup luas. Jika dia sedang kedatangan teman-temannya, seberisik apapun mereka tidak akan terdengar ke rumah utama.

"Cinta tinggal disini saja ya. Daripada harus bayar kos mahal-mahal. Indra tinggal diluar kota setelah menikah. Andara sedang kuliah di luar kota. Sementara Andra, sejak punya rumah sendiri, dia jarang sekali pulang. Tante tinggal sendiri deh". Tawaran tante Rina disambut baik kedua orang tuaku. Ibu sempat mengatakan maksud keinginanku untuk bekerja dan tinggal sendiri di kota ini.

"Bagus tuh Ta. Ibu juga lebih tenang meninggalkanmu disini. Ada tante Rina yang jagain kamu". Tante Rina memang baik tapi aku tetap merasa enggan. Ibu lagi kenapa harus bilang-bilang sih kalau aku akan tinggal di kota ini gerutuku. Tidak enak menolak tawaran tante Rina, aku hanya bisa tersenyum tanpa menjawab.

Dalam perjalanan pulang, ibu terus menyarankan setengah memaksa untuk menerima tawaran tante Rina. Jika menolak, aku harus ikut dengan orang tuaku dan tinggal bersama mereka. Keduanya bukan pilihan yang kusukai. Sudah sejak lama aku ingin hidup mandiri.

Ayah memberiku waktu satu minggu untuk berpikir. Rumahku sudah ada yang mau membeli sebelum tenggang waktu yang ayah beri habis. Itu artinya kepindahan orang tuaku tidak lama lagi. Dengan sangat terpaksa, aku memilih tawaran tante Rina. Setelah dipikir lagi, Andra juga jarang pulang. Setidaknya aku tidak harus bertemu dengannya setiap hari. Pekerjaan yang akan aku cari nanti harus sejauh mungkin dari rumah tante Rina. Tinggal bilang terlalu jauh dari tempat kerja, orang tuaku tidak akan protes kalau aku akhirnya memilih tinggal di tempat kos. Sip. Rencananya begitu saja.

Selang beberapa waktu rumahku sudah resmi terjual, ayah mengubah rencana yang awalnya mau di sewakan. Kepindahan keluargakupun di depan mata. Sebelum pergi ke tempat baru, kedua orang tuaku mengantarku ke rumah tante Rina. Tidak banyak perlengkapan yang kubawa, hanya baju dan beberapa barang. Kamar yang akan kutinggali sudah lengkap. Ada televisi dan komputer milik Indra yang sudah tidak digunakan.

Tante Rina sepertinya kesepian sekali. Dia ingin membuatku betah tinggal bersamanya apalagi belum lama ini suaminya juga meninggal. Di tambah anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa, rumah ini semakin sepi. Ibu masih beruntung, meskipun hanya memiliki anak tunggal tapi masih ada ayah yang bisa diajak berbagi suka dan duka.

"Andra yang bantu dekor loh Ta". Senyumku kecut mendengar ucapan wanita paruh baya disampingku. Nama itu mungkin akan selalu kudengar setiap hari.

Ibu menasehatiku panjang lebar sebelum pergi, memperlakukanku seperti anak kecil. Menasehati semua hal yang harus dan tidak boleh kulakukan selama tinggal sendiri. Terutama soal jam malam, ibu meminta tante Rina untuk melarangku pulang malam. Semua kuiyakan saja, lagipula aku belum berencana melakukan apa-apa selain mencari pekerjaan.

Hanya satu harapanku selama tinggal disini, menghindar dari laki-laki yang sudah menghancurkan mimpi masa remajaku. Selama bertahun-tahun berjuang membuangnya dari kehidupanku. Sepertinya ini saatnya ujian untukku, sanggupkah aku benar-benar melupakannya atau justru malah terperosok semakin dalam.

tbc

Cinta Pangeran EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang