Rasaku Tak Terbalas

70 17 7
                                    

"Kau tahu?"
"Apa?"
"Sebuah perasaan tak bisa dipaksakan."
"Iya, aku tahu. Apa maksudmu membicarakan ini?"
"Hmm... tidak."

***

Aku mencintainya. perasaan yang melebihi hubungan sekadar teman maupun sahabat. Kami kenal sejak masih berumur 5 tahun, saat menginjak jenjang Taman Kanak-Kanak.

Setiap waktu senggang, kami habiskan bersama. Entah sejak kapan, aku memendam perasaan ini. Terlebih lagi, aku mendapatkan amanat untuk terus menjaganya. Menjaga malaikat kecil yang beku hatinya. Ya, dia bersifat dingin. Sangat dingin.

"Ayo, berangkat." Dia mengambil langkah di hadapanku tanpa sedikit pun membagi pandangan manisnya.
"Jangan dingin gitu, hey. Jadi gak cantik," Kataku yang tidak dibalas. Sesaat kemudian dia berdecak sambil mengangkat alisnya sebelah.

Sabar. aku selalu sabar menghadapi sifatnya yang seperti ini. Aku menaiki motor dan tentunya masih terdiam dalam posisi ini sambil menunggunya. "Udah, ayo."

Motorku membelah jalanan. Waktu selalu bergulir begitu cepat ketika bersamanya. Apa aku terlalu menikmatinya? Setelah setengah jam dalam pengaruh kemudi motor, akhirnya kami sampai di sekolah. Tanganku sudah hampir menyentuh helm di kepalanya—hendak membantu melepaskannya— namun gerakan tangannya yang hendak melepaskan juga, seakan menolak niat baik dariku. Dia menyerahkan helm-nya padaku. Helm itu memang miliknya, tapi ia selalu menitipkannya padaku, sehubungan kami selalu pulang bersama. Kami pun berjalan menuju kelas.

"Lind?" dia hanya menoleh kemudian lanjut berjalan lagi.
"Kalo aku punya pacar, kamu nanti gimana pulangnya?"
"Tinggal pulang aja, ada fasilitas angkot ... lah, kenapa gak dipake, sih?" Mukanya berubah menjadi cemberut. Namun, karena sifat dinginnya itu, ia mampu menutupi badmood yang dia rasakan. Apa ini membuktikan bahwa ia sedang cemburu?

"Hmm ... cemberut. Lagian---aku bercanda, kok," Jelasku secepat mungkin.

"Serius juga gak pa-pa kali," Jawabnya cuek.

"Jangan-jangan kamu cemburu?!"

"Mana ada!" katanya sambil mempercepat langkah.

"Lind. Lind. Tunggu aku."

"Celind!"

Dia hanya berhenti sebentar. "Ngapain sih, buru-buru banget?" Tanyaku lagi.

"Nggak. Biasa aja, kamu aja yang lambat!" Jawabnya ketus.

"Oh, ya? Aku atlet lari nih, mau balap?" tantangku padanya.

"Buang-buang waktu," jawabnya membuang muka.
"Celind, anter aku ke kantin, yuk,"

"Eh, ya. Kamu cowok. Minta anter aku, dasar penakut!"

Sifatnya memang sangat dingin, apa dia tidak tahu, aku hanya ingin mengulur waktu untuk bisa berlama-lama dengannya.

"Ayolah."

"Gak."

"Celind."

"Gak."

"Celind sayang."

"Berisik!"

Setelah perdebatan alot, akhirnya dia mau juga mengantarku ke kantin, sebenarnya aku sudah cukup kenyang dengan sarapan nasi goreng di rumah tadi. Tapi apa boleh buat, ini semua aku lakukan agar waktu bersamanya terasa lama meskipun hanya sebentar.

Kami pergi ke kantin bersama. Aku memesan teh hangat tanpa gula dan Celind memesan susu hangat.

"Nih," ucapku sambil menyodorkan susu hangat yang tadi ia pesan.

Berbeda dengan Celind, aku memesan teh hangat tanpa gula, karena cukup dengan memandangnya, rasa-rasanya cukup menambah semangatku pagi ini.

Setelah Celind menghabiskan susu hangatnya, dan aku minum setengah dari teh hangatnya kami berjalan menuju kelas bersama. Karena kami sekelas itu membuat rutinitas pertemuan kami sangat intens dan dekat. Bahkan sebagian yang selalu melihat kami mengira bahwa kami berdua berpacaran padahal sebenarnya tidak.

Semua yang terjadi hari ini berjalan dengan lancar. Aku sangat menikmati hari ini terlebih saat diberi tugas kelompok aku langsung memilih Celind untuk menjadi partnerku, selalu seperti itu. Guru-guru di sekolah pun sudah tau tentang kami berdua. Aku masih membereskan buku-buku yang ada di meja sementara Celind masih menungguku di luar kelas.

"Ayo Dimass, lama banget sih, udah laper aku tuh," seru Celind kencang mungkin bisa terdengar sampai parkiran motor.

"Sabar ih, gak sabaran banget jadi cewek. Entar gak ada yang betah temenan sama kamu gimana?!" Seruku tak mau kalah.

"Kan kata Mama kamu harus jagain aku terus, jadi kamu pasti akan selalu ada buat aku."

"Iya juga sih, Elsaaa."

"Namaku Celind bukan Elsa!" Katanya tidak terima.

"Karena sifatmu dingin, sama kaya sifat Elsa di film frozen. Sama persis, gak ada yang berubah. Tapi lebih cantikan Elsa sih," kataku sambil tertawa kemudian berjalan keluar kelas.

Tiba-tiba, dia memukulku dengan buku yang ada ditangannya, buku nya sangat tebal membuat tubuhku sakit dipukuli olehnya.

"Alay! Kaya gitu aja sakit! Lemah!" Katanya sambil berjalan mendahuluiku.

"Emang sakit loh Lind, teganya dirimu teganya," jawabku sambil bernyanyi.

"Udah ayo, jangan nyanyi. aku laper Dimas," katanya sambil menarik tanganku lebih cepat.

Kami pulang bersama, dan sebelum sampai rumah kami berhenti di warung soto yang biasa aku kunjungi bersama Celind, aku tahu pasti dia ingin sekali makan soto.

"Tau aja deh, mauku apa," katanya sambil meremas pipiku. Aku diam saja melihatnya melakukan itu, justru aku senang melihatnya.

Kami makan soto bersama, kemudian membayar dan pulang kerumah. Sebelum kulihat Celind masuk, aku berniat untuk bilang semuanya sekarang.

"Celind, tunggu dulu, aku mau bilang sesuatu," kataku lembut.

"Mau bilang apa, bilang aja sekarang cepetan," jawabnya dengan nada cuek seperti biasa.

"Aku menyukaimu dan sekarang sudah mencintaimu," jawabku tulus.

"Kau tahu?"

"Apa?"

"Sebuah perasaan tak bisa dipaksakan."

"Iya, aku tahu. Apa maksudmu membicarakan ini?"

"Hmm... tidak."

"Jadi apa kita bisa memiliki hubungan yang lebih spesial dari seorang teman?" Tanyaku hati-hati.

"Kita sudah sangat spesial sekarang, kita memiliki waktu bersama dan itu menyenangkan. Aku pikir hubungan kita hanya sebatas itu. Tidak lebih," katanya sambil berjalan masuk.

Aku masih diam ditempat. Mungkin seharusnya tidak begini perasaanku sekarang. Tapi setidaknya aku sudah bisa terbuka padanya, agar tidak ada lagi rasa yang terpendam dalam dada.

Penulis:

• Lila Amanda Sekar Ayusetia
• Regina Dwi Setiawan Reginadwisetiawan

FRIENDZONE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang